Dua Profesi yang Berlawanan


Dua profesi yang berlawanan. (sumber foto: jakartakita.com dan bangjo.com


Ketika pergi takziah ke Jember bersama teman-teman blogger Jalan Jajan Syar’i kami menyewa sebuah mobil dari rental tetangga. Waktu itu kami kena biaya sewa mobil per hari untuk perjalanan PP Malang-Jember sebesar Rp.950.000. Rinciannya adalah sewa mobil luar kota Rp.400.000, bensin Rp.150.000 dan fee sopir sebenarnya sehari Rp.200.000 tapi karena kami meminta berangkat larut malam maka dihitung dua hari. Dalam perjalanan pulang saya membayangkan betapa berat tugas Mas Bhakti-nama sopir kami, mengendarai mobil larut malam menempuh medan yang cukup berbahaya di Lumajang. Tidak tidur di sepanjang perjalanan trus besoknya masih harus mengantarkan kami pulang kembali ke Malang. Mas Bhakti hanya punya kesempatan tidur ketika menunggu kami takziah di rumah Mbak Ira, sahabat kami yang sedang berduka.
Kami sebenarnya keberatan dengan penghitungan fee sopir yang dihitung dua hari tersebut tapi karena lagi butuh dan urgent maka kami menyetujuinya. Tapi setelah melihat betapa berat perjuangan dan besarnya tanggung jawab yang dipikul Mas Bhakti untuk mendapatkan fee sebesar Rp.400.000, saya jadi memakluminya. Saya kemudian membandingkan dengan pekerjaan saya jika lembur di hari Sabtu atau Minggu, dengan hanya duduk anteng di depan komputer saya dibayar separuh dari fee Mas Bhakti selama sehari. Padahal durasi lembur saya hanya 4 jam saja, sedangkan Mas Bhakti 24 jam. Atau perbandingan yang lain, untuk 1 artikel job review minimal 300 kata saya biasanya menerima fee antara Rp.150.000 hingga Rp.500.000. Tanggung jawab saya adalah menulis review untuk membantu promosi brand yang mempercayai saya, ketika saya sudah mempublikasikannya di blog dan social media maka selesai sudah tugas saya. Sedangkan Mas Bhakti tanggung jawabnya lebih besar, harus mengantarkan 7 orang dengan selamat PP Malang-Jember dan menjaga mobilnya agar tidak mengalami kerusakan yang berarti.

Menulis sebuah artikel job review juga tidak mudah sih sebenarnya, kita harus mencari ide yang menarik dan mengolahnya sekreatif mungkin. Apalagi kalau brand-nya menginginkan metode soft selling maka kita harus bisa mempromosikan brand tersebut dengan natural, tidak boleh frontal atau secara terang-terangan mengajak pembaca untuk membeli produk brand tersebut. Agar bisa mereview secara maksimal kita harus mempelajari kelebihan produknya terlebih dahulu, mengumpulkan referensi yang mendukung review kita. Agar lebih meyakinkan kita juga perlu menambahkan foto, nah ini juga butuh effort untuk menghasilkan sebuah foto yang berkualitas bagus.




Sebagai contoh ketika mereview martabak manis King’s Rachman, saya gugling dulu tentang sejarah asal-usul martabak manis atau terang bulan di Indonesia. Saya kemudian merangkum semua artikel-artikel yang saya dapatkan itu dan mempergunakannya sebagai pengantar tulisan saya. Jadi saya tidak sekonyong-konyong langsung memuji-muji marman King’s Rachman dan mengajak orang membelinya. Tapi walaupun begitu tetap saja bagi saya, effort yang dikerahkan dan tanggung jawab yang dipikul Mas Bhakti masih jauh lebih besar dan berat daripada saya.

Perbandingan seperti ini seringkali saya pakai ketika saya tergoda untuk membelanjakan uang untuk membeli barang-barang dengan batas antara kebutuhan dan keinginan yang tipis. Misalnya ketika saya melihat sepatu atau jaket yang bagus maka saya akan mengingatkan diri sendiri jika di rumah masih memiliki sepatu atau jaket yang masih bagus dan layak dipakai. Masa iya saya mau menghabiskan uang sebesar Rp.100.000 ke atas untuk menuruti keinginan saja. Padahal di luar sana banyak orang yang harus kerja keras membanting tulang dan memeras keringat, tak peduli siang atau malam demi mendapatkan selembar uang seratus ribuan. Malah ada juga yang lebih kecil dari itu.


Tapi tidak dipungkiri jika kebutuhan setiap orang itu berbeda sih, tergantung latar belakang masing-masing. Bagi orang awam yang tidak bergelut di dunia blog, khususnya travelling dan kuliner, membeli sebuah kamera DSLR dengan harga mulai dari 5 hingga puluhan juta adalah suatu pemborosan bahkan hal yang gila. Mending uangnya buat beli motor, emas, tanah atau buat bayar sekolah anak. Lain halnya bagi seorang travel blogger, kamera yang bagus adalah modal utama selain kemampuan menulis. Nanti malah dengan kamera berharga jutaan itu mereka bisa mendapatkan penghasilan yang lebih besar. Jadi perbandingan saya tentang uang senilai Rp.100.000 itu tidak bisa disamaratakan.

Inti dari tulisan saya kali ini adalah jangan pernah lupa untuk menggunakan ‘kacamata’ atau ‘sepatu’ orang lain ketika kita menilai profesinya. Dunia ini memang terkadang ‘tidak adil’, ada orang yang bekerja dengan tingkat kesulitan, tuntutan pengorbanan dan tanggung jawab yang besar namun materi yang didapatkan tidak sebanding dengan tiga point itu. Di sisi lain ada yang beruntung memiliki pekerjaan yang ‘ringan dan santai’ namun materi yang didapatkan berlimpah. Namun perlu diingat juga, kebahagiaan tidak melulu soal materi. Keberadaan seorang tukang sampah sangat berarti sekali bagi para warga karena berkat dia sampah dan limbah rumah tangga bisa didistribusikan ke TPA sehingga kebersihan rumah dan lingkungan warga selalu terjaga. Meski gajinya tak seberapa, namun eksistensi tukang sampah sangat penting dan dia pasti merasa bahagia ketika lingkungan yang menjadi tanggung jawabnya selalu bersih.

Bagaimana dengan Anda? Apakah materi dan kebahagiaan yang Anda dapatkan dari pekerjaan Anda yang geluti saat ini sudah sebanding dengan segala pengorbanan dan tanggung jawab yang Anda berikan?


7 comments

  1. Apapun pekerjaan yang kita lakukan kita niati ibadah agar apa yang kita lakukan membawa berkah untuk kita. Amiin !

    ReplyDelete
  2. Bermanfaat banget mas artikelnya.. Apapun pekerjaan yang kita lakukan dengan ikhlas dan sungguh-sungguh insyaallah berkah mas hehe

    ReplyDelete
  3. Sebagai perawat mostly org akan berpendapat materi nomor sekian.
    Bahkan ketika bekerja di luar negri, tetap tanggung jawab dan was2 akan masalah hukum berat menghantui.

    Jadi perawat srg tdk tercatat di bill tagihan rs, catatannya di tagihan lain yg masih blm terlihat :)

    ReplyDelete
  4. Meski bukan travel blogger aku yo pengen punya kamera bagus mas :D

    ReplyDelete
  5. Betul banget mas, kebahagiaan tidak melulu soal materi... Alhamdulillah walaupun penghasilan di kantor saya tidak besar tapi bisa dapat side job dari socmed. Sebuah hobi yang menghasilkan...

    ReplyDelete
  6. Artikel yang sangat bagus :-)

    Banyak banget profesi yang beredar di masyarakat, mulai dari yang mainstream sampai yang anti mainstream. Kebanyakan orang menganggap kalau yang kerjanya mentereng, di kantor besar, serba mewah, maka udah sukses dan bahagia. Padahal banyak profesi lain yang dari tampilannya tidak kelihatan mewah tapi penghasilannya besar, atau dari lingkup pekerjaannya kerap diremehkan tapi tetap bisa bahagia. Saya pernah ketemu bapak penjaga makam yang sehari-harinya bersihin makam dan menerima duit seikhlasnya dari lingkungan sekitar, tapi bapak ini selalu bahagia. Bener kata Mas: "kebahagiaan tidak melulu soal materi".

    Saya sekarang masih dalam tahap mengaktualisasikan diri lewat aktivitas lain, soalnya belom terlalu menemukan esensi kebahagiaan dari pekerjaan yang digeluti sekarang hehe.

    ReplyDelete

Popular Posts