Resensi film Wonderful Life


Resensi film Wondeful Life


Apa yang Anda lakukan jika mendapatkan laporan dari guru di sekolah jika nilai pelajaran anak Anda secara umum kurang, bahkan dia belum bisa membaca dan menulis secara lancar!
Apa yang Anda rasakan jika mendapatkan ‘tekanan’ dari keluarga besar agar anak Anda bisa berprestasi hingga mendapatkan beasiswa. Jika tak mampu mewujudkannya, Anda dilabeli sebagai orang tua yang gagal!
Apa yang Anda perbuat jika anak Anda ternyata lebih suka menggambar daripada belajar membaca dan menulis dengan baik dan benar?



Kisah dan Pesan dalam Wonderful Life

Itulah kisah yang dialami oleh Amalia, ibu dari Aqil, seorang anak yang divonis oleh 3 psikolog mengalami Disleksia. Disleksia adalah suatu kondisi dimana seorang anak mengalami kesulitan dalam membaca dan menulis. Dalam film bertajuk Wonderful Life ini, disleksia yang dialami oleh Aqil divisualisasikan dalam suatu adegan yang mudah dipahami yaitu ketika Aqil sedang belajar membaca, huruf-huruf dalam kalimat pada buku pelajarannya bergerak bahkan berhamburan sehingga Aqil tak mampu membacanya.

Resensi film Wondeful Life

Sebagai orang awam yang belum paham sepenuhnya bagaimana disleksia itu, visualisasi disleksia yang dialami Aqil membuat saya mengerti dan berempati dengan penderitaan yang dialaminya. Sayangnya Amalia tak mau mengerti dengan kesulitan yang dialami oleh putranya tersebut, meskipun 3 psikolog sudah memberikan vonis yang sama dan mengatakan bahwa disleksia bukanlah suatu penyakit.
Amalia pun akhirnya menempuh berbagai cara untuk menyembuhkan Aqil. Bagia Amalia, setiap penyakit ada obatnya dan dia akan melakukan apa saja asalkan putranya itu bisa sembuh, bisa membaca dan menulis dengan benar seperti anak-anak normal lainnya.
Saya bisa maklum bila Amalia yang seorang CEO dan strategic planner, sampai bela-belain mengobatkan Aqil ke berbagai tmpat yang jauh, mulai pengobatan tradisional hingga ke dukun. Dia seperti kehilangan daya nalar dan logikanya sebagai seorang wanita yang modern dan cerdas.
Jujur ya, sebelum membawa Aiman ke psikolog beberapa waktu yang lalu. Saya dulu pernah juga lho membawa Aiman ke seorang kyai karena merasa sudah tidak sanggup ‘menghadapi’ tingkah laku Aiman, karena menurut kami Aiman sudah begitu menguji kesabaran kami hehehe. Memang ya namanya orang tua kalau sudah menyangkut anaknya bisa berbuat apa saja demi kebaikan anak-anaknya.


Menyaksikan film Wonderful Life membuat saya tersentil sebagai orang tua, mau tak mau saya pun bertanya pada diri saya sendiri apa yang akan saya lakukan jika berada di posisi Amalia?
Sebagai orang tua seringkali kita menuntut terlalu banyak pada anak kita, kita ingin anak bisa ini bisa itu seperti anak-anak lain tanpa memikirkan apakah dia nyaman dan menyukai apa yang kita inginkan. Padahal anak kita berbeda dengan diri kita, mereka memiliki jiwa, kepribadian, keinginan dan cita-cita yang berbeda dengan kita.
Pesan dalam film Wonderful Life sangat bagus, yang paling mengena buat saya dialog antara Amalia dengan psikolog saat mengkonsultasikan kondisi Aqil.
“Lalu apa yang harus saya lakukan untuk menghadapi Aqil?”
Dengan tenang dan sambil tersenyum, sang psikolog berkata:
“Anak kita bukanlah musuh yang harus dihadapi, apalagi ditaklukan Bu.”
Tanpa sadar, selama ini saya seringkali juga memakai kata menghadapi jika sedang kesal sama tingkah laku Aiman. (lihat paragraph sebelumnya) Huhuhuhu memang menjadi orang tua itu tidaklah mudah dan sayangnya tidak ada sekolah resmi untuk mencetak orang tua yang baik.


Kelebihan dan Kekurangan film Wonderful Life

Film Wonderful Life diangkat dari sebuah buku berjudul sama yang ditulis oleh Amalia Prabowo. Buku Wonderful Life ditulis berdasarkan kisah nyata yang dialami oleh Ibu Amalia bersama anaknya Aqillurahman Prabowo (Aqil). Saya membaca profil Amalia Prabowo di sebuah majalah wanita, ternyata Amalia ini orang Malang lho, ayahnya merupakan dokter kandungan yang terkenal di Malang. Wah, sebagai orang Malang saya jadi ikut bangga karena ada seorang CEO agensi multinasional yang berasal dari Malang. Hmm saya kok jadi kepo, siapa gerangan ayah dari Amalia ini sebab di majalah ditulis jika prakteknya selalu laris dan mereka hidup kayak raya di Malang.


Yuk sekarang kita bahas kelebihan dan kekurangan film Wonderful Life dari kacamata saya. Kalau dari segi akting, saya sudah tidak meragukan lagi kualitas akting para pemainnya terutama Atiqah Hasiholan, Lidya Kandou, Arthur Tobing. Atiqah mampu membawakan peran Amalia dengan natural, meski belum memiliki momongan tapi dia bisa memerankan dengan baik seorang ibu yang sedang galau dan dilema karena anaknya divonis disleksia. Dia harus menghadapi banyak tekanan, baik dari ayahnya dan tanggung jawabnya sebagai seorang CEO.


Aktris senior, Lidya Kandou juga bagus membawakan peran seorang ibu yang merasa tak berdaya untuk membela anaknya (Amalia) yang selalu mendapatkan tekanan dari sang ayah (Arthur Tobing). Lidya berhasil memerankan seorang nenek yang bisa menerima dengan lapang dada kondisi cucunya yang disleksia. Arthur Tobing pun sebelas dua belas, dia berhasil memerankan peran seorang ayah dan kakek yang dingin dan otoriter, kakek yang ingin cucunya ‘normal’ seperti anak lainnya dan berprestasi.



Dua jempol patut diberikan pada Sinyo, pemeran Aqil. Saya sampai mengira kalau peran Aqil ini dibawakan oleh Aqil sendiri. Saya belum pernah mendengar nama Sinyo sebelumnya di film atau sinetron, saya tidak tahu apakah ini debut pertamanya di dunia akting. Jika memang dia pendatang baru maka aktingnya sudah termasuk bagus, dia begitu natural memerankan Aqil. Chemistry-nya dengan Atiqah juga terbangung dengan cukup baik di sepanjang film.


Sedangkan kekurangan yang saya rasakan adalah cerita tentang Amalia mengobatkan Aqil memakan durasi terlalu banyak. Mungkin dalam kisah nyata Aqil, Amalia sudah menempuh berbagai cara untuk mengobati Aqil namun seharusnya sutradara lebih selektif memilih mana yang akan ditampilkan di film. Padahal kalau dilihat dari setting lokasi yang begitu jauh, tentunya itu membutuhkan dana, waktu dan effort yang tidak kecil bukan? Sayang banget kan, kalau itu semua ternyata malah jadi sia-sia.
Akibat dari penceritaan mencari obat buat Aqil yang terlalu lama itu, cerita penerimaan Amalia dengan kondisi disleksia yang dialami Aqil jadi kurang tergalih dengan bagus. Saya sebagai penonton berharap prosesnya lebih menguras emosi dan menggugah hati. Jadi ketika film sudah menuju ending, saya dan Mama Ivon jadi bergumam sendiri: “Lho kok udah selesai, hanya gini thok tha?”
Sungguh sangat disayangkan, saya yakin pergulatan batin dan perjuangan Amalia Prabowo dalam menerima kondisi Aqil ini pasti sangat berat sekali. Dan itu seharusnya bisa diangkat lebih banyak di film. Tapi walaupun begitu, film Wonderful Life tetap saya sarankan ditonton terutama bagi keluarga agar kita bisa menyerap nilai-nilai parenting yang ada di dalamnya.

Resensi film Wonderful Life.

Di ending film Wonderful Life diceritakan bahwa akhirnya Amalia menerima Aqil apa adanya, dia diberikan kebebasan mengeksplorasi kelebihannya dalam menggambar. Saya jadi penasaran, apakah Aqil sama sekali tidak diberikan terapi minimal untuk membantunya agar bisa membaca dan menulis dengan benar. Meskipun kelak dia jadi pelukis, dalam kehidupan sehari-hari dia tidak akan bisa lepas begitu saja dari tuntutan untuk bisa membaca dan menulis dengan benar bukan?

10 comments

  1. Yeahhh dapet spoiler endingnya. Xooxoxooxo.
    Mbaknya ku juga pernah nanyai putranya ke org pintar mas. Gegara putranya ya gitu nguji banget hee... TFS yaaa mas ...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ups, maaf Rohmah aku lupaaa, padahal kemarin wes wanti-wanti diri sendiri ga akan kasih spoiler. Maklum wes lamaaa banget ga ngereview film.

      Delete
  2. Wan, kalau gak salah disleksia itu gak bisa disembukan jd akan dibawa seumur hidup bahkan diturunkan ke keturunannya.
    Utk terapi, katanya sih ada terapi dgn menggunakan alat kyk kaca mata gtu tapi aku gak tau di Indonesia ada atau gak ya...

    ReplyDelete
  3. Pernah ada nih film india kayak gini. Bagus banget tapi aq lupa judulnya..sampe nangis aq nontonnya karena penuh dg penggalian emosi

    ReplyDelete
  4. Ah... menonton film dengan tema seperti ini selalu memotivasi diri sendiri. Anak kami juga kebetulan berkebutuhan khusus karena cerebral palsy... Butuh banyak film seperti ini, nih :D

    ReplyDelete
  5. Diesleksia,sudah banyak diangkat tapi masih (terasa) awam ya?

    ReplyDelete
  6. Iya bener banget, kita sebagai orang tua kadang suka memaksa anak untuk bisa ini itu.Padahal anak kan manusia yang punya hati dan perasaan, kita lahir berbeda beda jadi punya kelebihan dan kekurangan

    ReplyDelete
  7. akhirnya bisa baca reviewnya, kmrn mau nonton di bioskop lg ga sinkron sama dompet

    ReplyDelete

Popular Posts