![]() |
With My Boy |
Hari Rabu kemarin kami membawa Aim
ke DSA untuk mengobati sakit panas, batuk dan pilek yang dideritanya sejak hari
Minggu. Minggu-minggu ini memang cuaca sedang tidak bersahabat, terutama buat
anak-anak. Musim hujan sepertinya sudah beralih ke musim pancaroba. Bukan hanya
Aim yang menderita panas, batuk dan pilek ini, kedua sepupu Aim dan anak-anak
teman kami juga mengalami hal yang serupa.
Untuk sakit panasnya kami tidak
kuatir, suhunya masih di kisaran 37 derajat jadi belum perlu diberi obat
penurun panas. Yang bikin kuatir itu batuknya, Aim nampak kesulitan
mengeluarkan dahak sehingga jadi susah tidur dan sering mengigau. Kalau tidurnya
udah merasa nggak nyaman, dia akan mere-mere dengan menabok atau
menendang-nendang siapa saja yang ada di dekatnya. Karena tak tega melihatnya
susah beristirahat maka kami putuskan untuk membawanya ke DSA langganan kami
yaitu Dr.Sri Kusumawardani, SpA atau lebih akrab dipanggil Dr.Dani.
Sesampainya di rumah sekaligus
tempat praktek Dr.Dani saya segera mengkonfirmasi pendaftaran via telepon dan
melakukan pembayaran. Setelah itu kami duduk di sofa yang masih kosong untuk
menunggu dipanggil ke ruang pemeriksaan. Aim rupanya tertarik bermain
kuda-kudaan plastik yang tak jauh dari kami. Sambil mengawasi Aim yang naik
kuda-kudaan saya mendengar Mama Ivon bercakap-cakap dengan seorang ibu yang
duduk bersama dua anaknya. Sang suami yang duduk juga di sofa ikut ngobrol.
Puas bermain kuda-kudaan, Aim
berjalan menghampiri Mama Ivon. Saya sendiri duduk di sofa yang sama,
berdampingan dengan suami ibu muda tersebut, sebut saja namanya Mas Udin. Saya
berinisiatif menanyakan sakit yang diderita anaknya. Ternyata sama, anak
keduanya itu sakit batuk dan panas. Sehari sebelumnya terpaksa dipulangkan oleh
gurunya karena sakit.
“Anaknya kelas berapa emang, Mas?”
“Ehmm, kelas berapa ya,” Mas Udin
nampak bingung. “Ma, kakak kelas berapa ya?”
“Kelas nol kecil, Pa.”
Awalnya saya tidak mempermasalahkan
ketidaktahuan Mas Udin tersebut, mungkin beliau sekedar lupa saja. Kami pun
lanjut ngobrol tema yang lain. Saat lagi asyik ngobrol, anaknya yang lebih
kecil menghampiri dan melihat saya dengan tatapan matanya yang menggemaskan.
“Hai Adek, namanya siapa?”
Si adek hanya diam saja, tetap
ngeliatin saya dengan kedua matanya yang belok itu. Sepintas sih saya menebak
umurnya tidak beda jauh dari Aim, tapi melihat reaksinya yang malu-malu itu
saya jadi tergelitik untuk bertanya.
“Kalau yang kecil ini umur berapa,
Mas?”
“Umur berapa ya?” Lagi-lagi, Mas
Udin nampak bingung sambil ngeliatin ke arah istrinya. “Umur berapa adek sekarang, Ma?”
Gubrak, saya jadi heran melihatnya.
Kok sampe segitunya sih Mas Udin tidak mengetahui kelas berapa anak pertamanya
dan umur anak keduanya. Dari obrolan kami, mereka berdua tidak menjalani LDR
sehingga frekuensi pertemuan Mas Udin dengan anak-anaknya pasti setiap hari.
Tapi kenapa informasi penting tentang anak-anaknya, dia sampai tidak tahu.
Jangan-jangan Mas Udin tidak tahu tanggal lahir kedua anaknya tersebut.
Saya jadi teringat salah satu teman
kerja yang sebelas-dua belas dengan Mas Udin. Saat pengisian biodata anak untuk
keperluan administrasi dia tidak tahu tanggal lahir anaknya. Padahal anaknya
baru satu lho dan usia teman kerja saya ini lebih muda dari saya. Jadi rasanya
kok keterlaluan banget kalau tanggal lahir anak satu-satunya tidak tahu.
Saya jadi bertanya-tanya, apakah
Mas Udin dan teman kerja saya itu termasuk tipe suami dan ayah yang punya
prinsip: tugasku hanya cari nafkah, urusan anak-anak itu tanggung jawab istri!
Wah kalau seperti itu, jangan salahkan jika anak-anakmu lebih dekat kepada
ibunya.
Padahal sesungguhnya, tanggung
jawab merawat dan mendidik anak itu adalah tanggung jawab ayah dan ibu. Dalam
Islam disebutkan bahwa ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya, trus
peran ayah apa?
Jika para ayah hanya fokus pada
hal-hal teknis seperti membetulkan genting bocor, menyambung pipa yang patah,
membetulkan antena dan sebagainya. Maka peran ayah tidak jauh berbeda dengan
petugas kebersihan di sekolah. Padahal seharusnya, ayah menjadi kepala sekolah
yang menentukan pendidikan seperti apa yang akan diterapkan bagi anak-anaknya.
Di zaman yang modern ini, sudah
saatnya bagi kita para pasmud (pasangan muda) untuk mengubah paradigma kuno di
dalam berumah tangga dimana peran ayah dan ibu dibagi secara kaku dan
terkotak-kotak. Ayah hanya bertugas mencari nafkah, istri bertugas merawat
rumah dan anak-anak.
Jika dihitung secara matematis,
durasi interaksi ayah dengan anak di rumah kalah jauh dengan durasi interaksi
ibu dan anak. Untuk itulah kita sebagai seorang ayah harus berusaha mengejar ketertinggalan
itu dengan meluangkan waktu lebih banyak untuk anak saat berada di rumah.
Berusaha menjadi teman bermainnya, bahkan kalau bisa sahabat buat anak-anaknya.
Memang sih setelah capek seharian
bekerja kita penginnya bisa istirahat, saya pun juga merasakan hal yang sama.
Apalagi jika punya anak balita yang aktif dan tidak bisa diam, wiih bener-bener
menguras energi dan menguji kesabaran he he he. Namun kita harus bisa
menempatkan diri di posisi anak-anak, mereka masih belum mengerti kalau ayahnya
baru pulang kerja capek atau di rumah ingin beristirahat. Yang mereka tahu
adalah mereka ingin ditemani, ingin diperhatikan oleh ayahnya yang seharian
tidak bertemu.
Saya nulis gini bukan berarti saya
sudah perfect sebagai seorang ayah,
saya pun pernah sedikit marah sama Aim yang ‘mengganggu’ ketika saya menulis
sebuah artikel. Sudah dimainkan DVD kesukaannya, eh baru mau mencet keyboard
udah dicolekin pundak saya atau ditarik-tarik tangan saya saat ada yang lucu di
tayangan video kesukannya. Sementara Mama Ivon lagi asyik nguprek di dapur
membuat kue pesenan klien Dapur Ivonie. Sampai di suatu titik, kesabaran saya
habis dan memarahin Aim. Saya menyuruhnya agar tidak ‘menganggu’ saya dan
konsen melihat video kesukaannya. Tentu saja Aim menangis dan membuat saya jadi
merasa bersalah. Sejak saat itu saya kalau menulis artikel menunggu Aim tidur
dulu atau disambi di kantor. Walah kok jadi ngelantur ke urusan blog segala
gini.
Jadi inti dari tulisan saya kali
ini, sebagai seorang ayah kita juga harus punya kepedulian dan perhatian
terhadap anak-anak kita. Bukan berarti Mas Udin dan teman kerja saya yang tidak
tahu tanggal lahir atau umur anaknya itu tidak punya kepedulian atau perhatian
terhadap anaknya. Tapi orang di luar keluarga kita pasti akan mempertanyakan
kapabilitas kita sebagai seorang ayah jika tanggal lahir atau umur anak sendiri
saja sampai lupa atau tidak tahu.
Keren artikelnya Mas. Saya juga seperti itu, kalau pulang kerja ya langsung main sama anak, sambil tiduran bareng, jadi saya juga ngerasa gak terlalu capek, toh kita main sambil tiduran sama anak. Mainin laptop bareng sambil nontonin dvd kesukaannya. Kalau urusan nulis artikel, bisa di hape, jadi laptop udah kayak khusus punya anak saya. Gak boleh diganggu gugat. hehehe
ReplyDeleteMakasih, biasa saja kok Mas artikelnya :-)
DeleteKalau Aim sukanya menata mobil di kasur, main laptop mainan. Kemarin-kemarin sih liat video di tab, trus keseringan dibanting dan terakhir dibanting ke lantai jadi rusak deh. Musti ganti LCD-nya.
Wew Mas Hendra betah ya nulis artikel di hape?? Saluut, bener-bener blogger sejati neh!
Nyambung...
ReplyDeleteKecuali kalau beliau lagi sekolah, terus kebetulan saya juga lagi off, baru deh tuh laptop saya pakai buat update Blog. PUAS!! hahaha.....
Nama anaknya siapa Mas dan kelas berapa?
DeleteKalau saya ngeblognya di komputer, pengin sih beli laptop biar nggak rebutan sama istri :D
Muhammad Nabil Mas. Soalnya kalau ngetik artikel di hape, praktis banget, mau sambil tiduran, sambil maen sama anak, sambil ngapain bae bisa, kalau mau edit lebih rumit, baru deh saya buka laptop...
Deletesangat mirip ya...
ReplyDeleteAlhamdulillah Mbak, kalau mirip tetangga bisa berabe ntar :D
DeleteBelajar jadi ayah yang peduli dan perhatian :)
ReplyDeleteIya Mbak, semoga saya dimudahkan untuk menjadi ayah yang terbaik buat Aim.
DeleteApalagi nanti kalau saya udah kuliah di Jogya frekuensi bertemu berkurang banyak sekali, maka harus memupuk dari sekarang. Btw makasih atas advicenya kemarin :-)
Iya Mbak, semoga saya dimudahkan untuk menjadi ayah yang terbaik buat Aim.
DeleteApalagi nanti kalau saya udah kuliah di Jogya frekuensi bertemu berkurang banyak sekali, maka harus memupuk dari sekarang. Btw makasih atas advicenya kemarin :-)
umur umur segitu memang suka mancing emosi hehehe, harus selalu sabar, trus kalau ketemu mas udin lagi,bilangin tanggal lahir anaknya untuk di bikin password komputer atau pin ATM, biar gak lupa.. itu tips dari saya
ReplyDeleteterima kasih untuk artikelnya yang menarik
Bener banget Mas, saya yang lebih sabar dari istri saja kadang sampe habis kesabaran kalau Aim pas geje atau tantrum.
DeleteNtar gampang dibobol dong passwordnya.
Terimakasih juga sudah mampir dan komen Mas, namanya siapa ya?
Ya harus, mas. Namanya juga anak. Kita harus peduli sama anak kita. Kelak anak kitakan mencontoh sikap kepedulian kita kepa mereka.
ReplyDeleteTetep jadi ayah, yg baik, ya mas. :)
Benar sekali Mas, apa yang kita tanam hari ini akan kita tuai kelak.
DeleteAaamiin, doakan saya Mas.
seorang ayah juga harus punya kepedulian dan perhatian terhadap anak-anak kita
ReplyDeleteSetujuuuuu....banget!!!
Toss kalau gitu Mbak Kania :D
Deleteassalamu'alaikum wr.wb.
ReplyDeletemas boleh minta nomor tmpt praktek dr.dani. hari sabtu buka atau tidak?terima kasih