Pagi itu di lampu merah ITN saya melihat seorang kakek sedang
mempersiapkan bedak miliknya yang terletak di tingkungan jalan. Kakek itu sudah
lama membuka usaha servis sepatu dan sandal di situ, saya lupa kapan pastinya.
Saya memang tidak memperhatikannya setiap hari namun sepertinya selalu ada saja
orang yang memperbaiki sepatunya di kakek tukang sepatu itu.
Lampu merah berganti hijau, saya pun melajukan motor menuju kampus
tempat saya bekerja. Ketika sampai di pintu gerbang kampus, saya melihat kakek
kedua yang sedang duduk di depan sepeda tuanya. Di atas sadel sepeda tua itu
ada tumpukan lap kotak berwarna-warni. Kakek itu baru beberapa hari ini
berjualan lap di depan pintu gerbang kampus. Di wadah lap tertulis Rp.10.000 –
3. Kadang beliau berdiri menatap setiap orang yang melewatinya. Kadang dia
duduk di trotoar, mungkin beliau kecapekan.
Saya pernah punya keinginan untuk membeli lapnya namun saya
mengurungkannya karena lap di rumah kondisinya masih layak dipakai. Selain itu
lap yang dijual kakek penjual lap itu sama dengan lap-lap yang dijual di Pasar
Besar Malang, bahannya kurang meresap air.
Hari itu hari Jumat, biasanya saya akan menunaikan sholat Jumat di
masjid dekat rumah. Namun hari itu saya memiih untuk sholat Jumat di masjid yang
berada di kantor Depdiknas. Karena jaraknya dekat saya memilih untuk jalan kaki
saja. Nah dalam perjalanan berangkat menuju masjid saya melihat seorang kakek
sedang duduk di trotoar.
Kakek itu memakai baju batik, celana dan peci hitam. Melihat penampilannya
yang rapi dan cukup terawat saya menduga beliau sedang menunggu saudara atau
temannya untuk berangkat menunaikan sholat Jumat. Ketika saya sampai di
depannya saya melihat dan tersenyum padanya.
“Mas, kulo nyuwun yotrone,” ucap kakek berpeci hitam itu membuat
saya sedikit terkejut. Kalau dalam bahasa Indonesia arti ucapan beliau adalah:
“Mas, saya minta uangnya.”
“Saya sudah dua hari tidur di masjid, empat hari nggak makan Mas.”
“Saya minta duitnya buat makan saja Mas. Saya mau sebenarnya
minta-minta gini. Nanti kalau Mas kasih, saya sholat kok.”
Saya berhenti mendengarkan penjelasannya. Di dalam hati saya seperti
ada dua orang yang sedang berdebat. Sisi realistis mengatakan jika kakek
berpeci hitam itu pasti hanya seorang pengemis yang mengarang cerita sedih
untuk menarik simpati. Namun sisi humanis mengatakan mungkin saja cerita itu
benar, apakah saya tega tidak memberinya uang. Akhirnya saya mengambil selembar
uang dari saku belakang saya. Terlepas dari si kakek ini ngomong jujur atau
dusta, saya niat beramal shodaqoh, pas kebetulan hari ini Jumat.
Kalau memang kakek berpeci hitam ini jujur, semoga dia lekas pulang
atau kerabatnya lekas menemukan dan menjemputnya. Kalau beliau berdusta semoga
Allah membuka hati dan memberinya rezeki lewat jalan yang lebih mulia, seperti kakek
tukang servis sepatu dan kakek penjual lap.
Tiga kakek dalam cerita di atas, seharusnya menikmati hari tuanya
dengan beristirahat di rumah atau melakukan hal-hal yang menyenangkan. Namun
karena tuntutan hidup, mereka masih harus berjuang mencari nafkah di pinggir
jalan. Tidak hanya mereka, di luar sana juga banyak orang-orang tua yang
mengalami hal serupa. Melihat fenomena tersebut terbersit tanya di hati, kemana
gerangan anak atau cucunya? Apakah mereka tidak mau membantu orang tua dan
kakek/neneknya itu?
Sekarang ini kita nggak usah mempertanyakan dimana peran instansi
pemerintah terkait, dalam hal ini dinas sosial. Kalau kita bisa membantu dengan
tangan sendiri, ya mari kita lakukan. Kalau mereka berjualan yuk kita beli
barang yang mereka jual. Dulu pernah saat keluar bareng keluarga, kami
menjumpai kakek penjual es lilin khas Blitar di Jl. Raya Langsep. Karena Aim
suka es dan kami belum pernah makan es lilin khas Blitar maka kami membelinya.
Nah saya sudah cerita tentang si kakek penjual lap kepada istri saya, ternyata
dia nggak keberatan beli lap meski bahannya kurang menyerap air. Ya sudah nanti
kalau saya melewati kakek penjual lap itu saya akan membeli lapnya.
Ngomongin soal hari tua kelak, saya sih sudah punya angan-angan nanti
saat pensiun saya ingin melakukan travelling bersama istri tercinta, mengunjungi
tempat yang belum pernah kami datangi atau mengunjungi kembali tempat yang pernah
kami datangi untuk bernostalgia. Intinya saya ingin menikmati hari tua yang
bahagia bersama keluarga. Trus juga yang pasti tetap bisa menulis, baik itu
untuk di blog atau buku.
Semoga Allah memberikan kepada kita keluasan rezeki, keluangan waktu
dan kemudahan dalam berbhakti kepada orang tua kita. Terlebih ketika sudah
berkeluarga, seringkali kita sibuk dengan urusan keluarga (anak dan istri)
sehingga tak sempat atau lupa untuk sekedar menanyakan kabar orang tua kita dan
apalagi mengunjunginya. Padahal kelak kita juga akan menua seperti mereka kan?
#selfnote. Semoga Allah juga memberikan kepada kita semua umur panjang yang
barokah dan bisa menikmati hari tua bersama keluarga tercinta, aamiin.
Aamiin. YRA. Saya juga sering melihat fenomena seperti itu...
ReplyDeleteMakasih Mbak, doa yang sama buat Mbak Santi.
DeleteIya miris ya Mbak.
Amin mas. Semoga tercapai yang diimpikannya mas.
ReplyDeleteDoa yang sama buat Mas Febri ya, aamiin.
DeleteIya mas, banyak orang tua yg masih harus bekerja keras. Beda dengan negara maju yang di masa pensiun akan disubsidi. Semoga ini menjadi selfnote, agar tidak leyeh2, mumpung masih muda kerja keras demi masa depan, dan semoga Mas Ihwan dan Mbak Ivone bisa keliling dunia kelak. Amin
ReplyDeleteAamiin. Semoga kesampaian ya? ^^ Aku juga pingin kaya gitu
ReplyDelete