Ketika Buah Hati Sakit




aiman
Aiman saat sakit berusia 9 bulan, masih kelihatan gemuk n montok

      Setiap orang tua pasti menginginkan buah hatinya tumbuh sehat dan terjauh dari sakit. Namun rasanya itu tidak mungkin, karena sudah menjadi fitrah di dunia ini segalanya diciptakan berpasang-pasangan. Pria-wanita, hitam-putih, sehat-sakit.
Ketika buah hati sakit, sebagai orang tua pasti kita merasa sedih. Melihat anak yang biasanya lincah dan ceria mendadak tergolek lemah dan muram. Apalagi jika sampai merintih kesakitan rasanya ingin sekali mengambil alih rasa sakit itu agar buah hati kita tidak menderita.

Di usianya yang menjelang dua tahun di bulan Januari ini, Aim sudah tiga kali masuk rumah sakit. Sungguh, bukan sebuah pencapaian yang bisa kami banggakan.
Sakit yang pertama terjadi di bulan Oktober 2013. Waktu itu awalnya Aim terkena panas biasa. Karena suhu panasnya masih 37 derajat celcius  koma sekian, Mama Ivon bilang kalau kami tidak perlu memberinya obat. Kita tunggu dulu apakah panasnya bisa turun atau terus naik. Dugaan kami, Aim sakit panas karena kecapekan karena dua hari sebelumnya baru saja pulang kampung dari Blitar. Untuk mengurangi panas tubuh Aim, Mama melakukan terapi skin to skin yaitu menempelkan tubuh bayi dengan ibu atau ayah. Selain itu Mama juga memberikan ASI yang lebih banyak pada Aim. Alhamdulillah dua usaha tersebut cukup efektif menurunkan suhu badan Aim di malam hari.
Namun paginya suhu badan Aim kembali naik. Saya sih sebenarnya sudah ingin memberinya obat namun Mama Ivon melarang karena dia tidak mau tubuh Aim dimasuki obat lebih dini. Sebagai alternatif saya lalu membeli plester penurun panas khusus bayi. Tapi sayang Aim tidak mau dahinya ditempelin plester penurun panas, mungkin karena merasa risih dan tidak nyaman. Saya sangat sedih sekali melihat kondisi Aim yang menjadi lemah dan tidak bersemangat itu. Apalagi saat memakaikan baju setelah di-spon, Aim yang biasanya lincah dan tidak bisa diam kini tergolek lemah.
Karena suhu badan Aim sudah di atas 38 derajat celcius dan khawatir nanti kejang kami akhirnya membawanya ke sebuah rumah sakit terdekat yaitu Rumah Sakit Panti Waluya Sawahan (RKZ). Karena baru pertama kali ke sana maka kami pun langsung memeriksakan pada DSA yang kebetulan sedang praktik saat itu. Beruntung kami Aim diperiksa oleh seorang dokter muda yang ramah dan tidak pelit berbagi informasi tentang sakit yang diderita Aim, namanya Dr.Ratna.  Menurut diagnose Dr.Ratna, Aim terkena Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA). Memang selain panas Aim juga batuk-batuk saat itu. Setelah diberi resep, kami pun menebus obatnya.
Meminumkan obat pada Aim memberikan ujian tersendiri bagi kami. Yang pertama karena rasanya pahit sehingga Aim menolaknya mentah-mentah sehingga terpaksa kami agak memaksanya. Dan ini yang bikin saya kasihan, maklum saya memang orangnya tidak tegaan. Beda dengan Mama Ivon yang begitu cekatan, mungkin itulah kelebihan naluri seorang ibu. 

Opname Pertama Aim
Dua hari berselang namun panas Aim tidak kunjung turun disebabkan Aim tidak nafsu makan dan tetap tidak mau minum obat. Meski kami sudah berusaha meminumkan obat secara paksa namun hanya sedikit yang masuk ke tubuhnya. Kami pun kembali ke Dr.Ratna. Karena melihat kondisi Aim yang tidak ada kemajuan maka Dr.Ratna menyarankan untuk diopname. Dengan berat hati kami menyetujuinya.
Sebelum diopname Aim harus menjalani tes darah terlebih dahulu untuk mengetahui apakah Aim terkena DBD dan lainnya. Saya sempat down saat perawat memberitahu biaya tes darahnya yaitu Rp.700.000. Jujur saja, waktu itu uang yang kami bawa ngepas dan tabungan juga menipis. Ditambah lagi aturan dari RKZ untuk pasien yang akan opname maka harus DP biaya sebesar minimal satu juta. Untunglah kedua bibi saya bekerja di RKZ sehingga tidak perlu membayar DP hari itu juga.
Sebenarnya Aim sudah kami daftarkan di Prudential sejak dia berumur tiga bulan dan ada fasilitas rawat inapnya.  Lalu Aim juga sudah saya masukkan di Askes yang saya dapat dari kantor namun sayangnya di RKZ tidak melayani nasabah dari keduanya. Untungnya agen saya di Prudential mengatakan kalau nanti biaya rumah sakitnya bisa diklaimkan dengan menyertakan kuitansi asli dari rumah sakit. Hal ini cukup melegakan bagi kami.
 
aiman
Kalau sakitnya maunya nempel terus sama Mama

Meminum obat saja susahnya minta ampun, apalagi ditusuk dengan jarum suntik. Saya saja yang melihatnya hororr bangett, apalagi Aim yang mengalaminya. Tapi semuanya harus dijalani demi kebaikannya. Alhamdulillah, efek dari infuse yang masuk ke tubuh Aim mulai kelihatan malam harinya. Wajah Aim yang siangnya terlihat pucat dan lesu menjadi sedikit terlihat segar. Tidak sia-sia pengorbanan Aim menanggung rasa sakit ketika para suster memasang jarum infuse di lengannya. Namun di hari kedua kami melihat ada sedikit keanehan, kedua kelopak mata Aiam sedikit membengkak. Semula kami mengira itu karena dia kurang tidur namun belakangan setelah Aim sembuh kami baru mengetahui kalau itu adalah reaksi alergi terhadap antibiotic.
Untuk mencegah jarum infuse lepas, maka di lengan anak dipasang penyangga dari kayu yang dibungkus perban. Lalu direkatkan dengan plester. Nah, kayu dibungkus perban ini malah menarik perhatian Aim sehingga diliatin terus malah kadang dia menarik-narik selang infusenya. Anak kecil memang ya, meski sakit namun rasa keingintahuannya tetap begitu besar.

Bagi kami, sakitnya Aim ini memberikan pengalaman yang tak terlupakan. Bagaimana kami harus bergantian menjaga Aim ketika di malam hari, untuk saya pribadi bagaimana harus membagi waktu antara bekerja dan mendampingi Mama Ivon. Kedatangan kerabat, sahabat dan teman kami yang menjenguk Aim serta doa-doa yang dipanjatkan oleh teman-teman di dunia maya memberikan support tersendiri bagi kami. Tapi yang paling utama adalah dengan dirawat di rumah sakit kami menyadari bahwa kami tidak sendiri, ada keluarga-keluarga lain yang mengalami hal serupa bahkan ada yang sakitnya lebih parah dari Aim. Alhamdulillah Aim tidak perlu dirawat berlama-lama, cukup tiga hari saja.  



No comments

Popular Posts