Jatim Park 1, Batu, Jawa Timur |
Mungkin banyak orang yang
mempunyai keinginan atau bahkan impian untuk tinggal di kota wisata. Kota
wisata memang ibarat gula yang akan menarik semut-semut untuk menikmatinya. Dalam
bayangan kita mungkin hidup di kota wisata ibarat hidup di surge dimana kita
bisa menemukan dengan mudah objek wisata ataupun hiburan. Namun tahukah Anda
bahwa dibalik pesonanya, kota wisata terkadang tersimpan duka bagi warga lokalnya.
Sukanya tinggal di kota wisata
- 1. Be the First
Tinggal di kota wisata
akan memberikan kesempatan yang besar bagi kita untuk menjadi yang pertama
mengunjungi objek-objek wisata terbaru. Biasanya pada saat grand opening objek-objek wisata akan memberikan diskon bahkan free
tiket masuk sebagai perkenalan.
- 2. Banyak Lapangan Pekerjaan
Adanya
objek-objek wisata tentu membutuhkan banyak karyawan, lalu juga menciptakan
lapangan pekerjaan yang lain mulai dari penjual makanan, penjual souvenir
hingga tukang parkir. Di kota wisata asalkan kreatif maka apapun bisa jadi uang
bahkan tambang emas.
- 3. Prestise
Ada rasa kebanggaan
tersendiri jika tinggal di kota wisata dengan objek-objek wisata yang indah dan
ramai dikunjungi wisatawan. Kota wisata akan menjadi kota favorit yang akan
banyak didatangi wisatawan.
Dukanya tinggal di kota wisata
- 1. Biaya Hidup Tinggi
Sektor wisata
termasuk objek pajak dengan nilai yang tinggi, hal ini tentu akan sangat
berpengaruh pada harga-harga barang kebutuhan mulai dari yang primer hingga tersier.
Itu semua akan bermuara pada tingginya biaya hidup.
- 2. Tak Sempat Menikmati Hidup
Bagi yang
berasal dari kalangan berada, hidup di kota wisata tentu akan seperti hidup di surga
dimana bisa dengan mudah menemukan tempat refreshing. Namun untuk kalangan yang
tidak mampu, hidup di kota wisata tiada hari tanpa perjuangan hidup tanpa
sempat menikmati surga yang mereka tempati.
Saat saya pergi
ke Bali, saya begitu prihatin melihat para penjual kaus jogger bajakan atau
kaus bali murahan yang rela berpanas-panasan di bawah terik sinar matahari demi
menjajakan barang dagangannya. Mereka tak peduli meski kulit mereka menjadi
hitam legam dan rasa penat akibat panas, yang terpenting buat mereka daganganya
laku. Tak hanya orang dewasa, bahkan anak-anak usia sekolah ikut menjual kaus
atau souvenir. Mengorbankan masa kecil mereka yang indah demi membantu kedua
orang tua.
Bali tidak hanya tentang surga (AGUSTINUS WIBOWO) |
- 3. Rawan Stress
Ada banyak hal
yang bisa memicu stress ketika hidup di tempat wisata, biaya hidup yang tinggi,
persaingan untuk menarik wisatawan, kemacetan di jalan raya. Kemacetan memang
bisa terjadi dimana saja, namun di kota wisata kemacetan bisa terjadi setiap
hari. Bahkan akan lebih gila lagi saat weekend atau musim liburan. Saya sendiri
pernah merasakan bagaimana macetnya kota Batu saat musim liburan. Ruas jalan
sebelah kiri yang seharusnya untuk motor, dijarah oleh mobil-mobil dari luar
kota yang mengangkut para wisatawan yang ingin menghabiskan liburan di Batu.
Kemacetan di Kota Batu |
- 4. Pengaruh Negatif dari Wisatawan
Kota wisata akan
mengundang banyak wisatawan untuk datang, mereka tidak hanya membawa uang namun
bisa juga membawa pengaruh/dampak negative bagi lingkungan dan warga lokal
terutama anak-anak.
Hampir sebagian
besar wisatawan kurang menyadari pentingnya menjaga kelestarian lingkungan yang
mereka datangi. Lihatlah betapa banyak contoh dimana objek-objek wisata alam
kini mulai banyak yang tercemari oleh sampah-sampah yang dibuang begitu saja.
Para wisatawan
datang dari berbagai daerah dengan budaya dan kebiasaan yang mungkin akan
sangat bertolak belakang dengan budaya atau norma warga lokal. Misalnya saja
wisatawan dari luar negeri, bagi mereka adalah hal lumrah memakai pakaia minim atau
mengumbar kemesraan di depan umum. Tapi bagi masyarakat Indonesia hal itu tentu
sangat tabu. Hal ini tentu akan sangat berpengaruh sekali pada anak-anak dan
remaja.
Itulah sharing pendapat
dan pengamatan Papa Ihwan tentang suka duka tinggal di kota wisata. Boleh
setuju boleh tidak. Namun kalau saya pribadi lebih memilih hidup di kota biasa
saja dimana saya bisa hidup dengan normal. Barulah jika nanti butuh refreshing
saya akan pergi ke kota wisata menikmati setiap objek yang ada di sana,
mengganti status dari pekerja menjadi raja meski hanya sehari.
Sumber foto:
http://surabaya.panduanwisata.id/hiburan/menikmati-wahana-wahana-seru-di-jatim-park-1/
http://agustinuswibowo.com/boycottbali-siapa-membutuhkan-siapa/2/
http://radarmalang.co.id/48-ribu-wisatawan-serbu-batu-1643.htm
Betul Mas Ihwan, masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Tinggal menyesuaikannya aja sesuai dengan kemampuan. Bagimanapun lebih enak hidup di tempat yang penuh dengan pepohonan hijau, sejuk, banyak jajanan dan jauh dari hiruk pikuk keramaian jalanan.... Siiip, terserah sampeyan Mas, setuju atau gak, hehehe
ReplyDeleteAlhamdulillah tempat tinggal saya jauh dari hiruk-pikuk keramaian jalan raya besar dan banyak yang jual makanan (menolong banget kalau istri lagi nggak masak) minusnya udah jarang ada pepohonan yang rindang. Sawah-sawahpun kini banyak yang dijadikan real estate mini. Hehehe setuju-setuju Mas :D
DeleteDuluuuu jaman masih sekolah, Batu adalah kota pertama yang paling pengen aku tinggali, Wan.. Enak, adem, nyaman, dan banyak tempat asik buat dikunjungi tiap weekend :)
ReplyDeleteMalang ama Batu beda-beda tipis Dee dari segi suhu dan kenyamanan, Malang kalau weekend juga ikutan macet karena wisatawan yang mau ke Batu harus melewati atau ngaso dulu di Malang.
Deleteselalu ada suka dan ada duka, bagi sebagian orang tidak ada banyak pilihan
ReplyDeletekalau saya sih suka hidup di tempat wisata, kapan saja mau berlibur berangkat :)
Iya bener Mas, orang-orang yang lahir dan besar di kota wisata tidak ada pilihan selain harus survive demi kelangsungan hidupnya. Btw Mas Anak Nelayan nama aslinya siapa dan tinggal di Banyuwangi ya?
DeleteMacetnya bikin ngak tahan kalo weekend, ampunnnnn
ReplyDeleteIya Mas benerr, ampun dijee macetnya.
DeleteMacettttttt cettt cet, pernah di Singosari aja sampe 2 jam, belum didalam kota. Waktu kuliah dulu masih asyik, sepi dan nyaman.
ReplyDeleteYa begitulah Mbak, bukan Singosari kalau nggak macet.
DeleteTapi kalau naik motor masih bisa nyalip-nyalip :D
Pernah ke Malang dan Batu. Malang macet ternyata ya, udah sama kayak kota-kota di Pulau Jawa bagian barat. Batu katanya kota berhawa dingin, pas ke sana biar malam-malam tak merasakan dingin sedikit pun. Mungkin sudah terlalu padat penduduknya.
ReplyDeleteIya Malang sekarang juga macet karena pertambahan kendaraan tidak diimbangi dengan pelebaran dan penambahan jalan raya.
DeleteHari Sabtu yang lalu kami rekreasi ke Selecta dan hawa dingin Batu yang dulu saya rasakan kini sudah tak ada lagi.
Rawan stres juga jadi salah satu akibat negatif tinggai di ibukota hahaha. Jakarta kota wisata nggak ya :D
ReplyDeleteErrr kota wisata juga sepertinya :D
DeleteTapi kalau di Jakarta stressnya kebanyakan bukan karena Jakarta kota wisata tapi karena kerasnya kehidupan di ibu kota.