Mengukir Kenangan Indah dengan Mudik

 

mudik naik motor

Saat saya masih kecil, setiap lebaran Nenek mengajak kami sekeluarga berlebaran ke rumah kerabat yang tinggal di Sempalwadak, Bululawang. Sebut saja namanya Pakde Khalil. Saya nggak tahu hubungan kerabat antara kami dan Pakde Khalil itu apa, apakah dia keponakan Nenek atau apa. Saya kurang paham, saya tahunya hanya ngikut aja. Yaa namanya juga anak kecil, pokoknya senang banget kalo diajak lebaran ke desa. Kerabat kami di Sempalwadak sebenarnya ada beberapa tapi kami tidak pernah absen datang ke rumah Pakde Khalil.

Kenangan Berlebaran di Desa Sempalwadak

Pakde Khalil seorang tentara, saya ingat di ruang tamunya ada foto keluarga dimana beliau mengenakan seragam TNI. Tidak heran jika beliau termasuk orang yang cukup terpandang dan disegani di desa Sempalwadak. Umumnya rumah-rumah di desa, rumah Pakde Khalil sangat besar, jauh lebih besar daripada rumah kami di kota. Ukuran kamarnya saja besar, mungkin seluas ruang tamu di rumah kami. Saya ingat, dulu saya suka berlari-larian dan main sembunyi-sembunyian sama kakak saya dan anak Pakde Khalil di kamar tersebut.

Tapi yang paling saya ingat adalah halaman belakang dan kebun rumah Pakde Khalil cukup luas. Ada beberapa tanaman buah seperti rambutan, mangga, belimbing, salak bahkan durian. Saya yang notabene anak kota jadi tahu wujud tanaman dari buah-buahan yang selama ini belum pernah saya liat secara langsung.

Perjalanan Malang Bululawang saat itu ditempuh dengan naik angkutan umum seperti bus atau colt. Kami berangkat pagi dari Malang, perjalanannya memakan waktu 30-45 menit. Kami biasanya berlebaran mulai dari pagi sampai sore. Mulai dari melepas rindu, bermain di dalam rumah, memanen buah-buahan di kebun, rujakan, mandi, trus pulang deh. Selain dapat uang lebaran, kami juga pulang membawa oleh-oleh berupa buah hasil panen di kebun Pakde Khalil.

Sayangnya semenjak Nenek meninggal, kami sudah tidak pernah lagi berlebaran di rumah Pakde Khalil. Awalnya terasa ada yang kurang karena selama bertahun-tahun kami terbiasa ke sana, tapi saya juga tidak berani bertanya apa sebabnya. Setelah saya berkeluarga barulah saya tahu kalau ternyata kami tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan Pakde Khalil. Hubungan Nenek dengan Pakde Khalil sebenarnya adalah penjual dan pembeli rumah. Jadi dulu saat almarhum Kakek sakit-sakitan, Nenek terpaksa menjual rumah mereka untuk pengobatan Kakek. Setelah itu Kakek dan Nenek pindah ke Malang. Rumah itulah yang setiap lebaran kami datangi selama ini.

Saya rasanya seperti patah hati setelah tahu kenyataan tersebut. Rumah Pakde Khalil yang selama ini saya rindukan di penghujung Ramadhan ternyata adalah rumah Kakek dan Nenek saya. Rumah tempat ibu, paman dan bibi saya tumbuh bersama hingga remaja. Kalau saya berada di posisi mereka pasti sangat sedih sekali tidak bisa menempati lagi rumah yang penuh kenangan tersebut. Itulah sebabnya kenapa mereka tiap lebaran berlebaran ke Sempalwadak, selain bersilaturahmi dengan kerabat lainnya juga untuk mengobati rindu dengan rumah keluarga yang penuh kenangan tersebut.

Mengobati Patah Hati dengan Mudik

Takdir menjodohkan saya dengan seorang wanita asal Blitar, sehingga setiap bulan kami memiliki agenda untuk pulang kampung. Minimal sebulan sekali. Saat itu Ibu mertua dan adik ipar saya bekerja di Hong Kong sehingga rumah keluarga mereka tidak ada yang menempati. Jadi saya dan istri pulang kampung agar rumah ada yang menempati dan membersihkan minimal 1 atau 2 hari.

Meskipun Ibu mertua dan adik ipar tidak tinggal di Blitar namun saat lebaran kami tetap mudik ke Blitar. Biasanya gantian, misal tahun ini kami merayakan lebaran di Malang maka tahun depan gantian di Blitar. Kebetulan istri juga masih memiliki kerabat di Blitar sehingga kami masih memiliki tanggung jawab untuk menjalin silaturahmi dengan keluarga almarhum Bapak mertua.

Kami paling sering mudik menggunakan kendaraan pribadi, bukan mobil melainkan motor. Mulai dari hanya berdua, bertiga hingga berempat. Kami lebih memilih mudik naik motor karena lebih cepat dan mudah mobilisasinya terutama saat jalanan macet. Tahu sendirilah gimana suasana lebaran, banyak orang yang mudik atau silaturahmi ke rumah kerabat di desa. Paling banyak sih menggunakan motor, bergoncengan bersama anak istri seperti kami.

 


Outfit kami ketika kehujanan saat mudik

 

Panas dan teriknya matahari, debu-debu jalanan yang beterbangan, bersaing dengan kendaraan lainnya menjadi tantangan tersendiri saat mudik. Belum lagi kalau ada yang tidak sabaran dan emosi sehingga membunyikan klakson dengan arogan, benar-benar menguji kesabaran. Pernah juga sih kami berangkat mudik sore hari agar tidak terlalu payah di jalan trus sekalian buka puasa di warung favorit kami. Moment-moment tersebut beneran bikin saya semangat saat mudik meskipun harus berboncengan berempat, yang penting tetap fokus, jaga keseimbangan dan berhati-hati di jalan.

Alhamdulillah sejak tahun 2019, kami diberikan rejeki yang lumayan sehingga saat lebaran kami bisa berbagi parcel atau hampers lebaran untuk keluarga di Malang dan Blitar. Nah saat itu kami belum memiliki mobil sehingga kami harus mudik menggunakan obrok (tempat membawa barang di motor) untuk mengangkut parcel buat keluarga di Blitar. Untungnya kami sudah pernah sih beberapa kali pulang kampung menggunakan obrok sehingga tidak masalah bagi saya membawa obrok sambil membonceng 3 orang. Yang penting 3 hal di atas: tetap fokus, jaga keseimbangan dan berhati-hati di jalan.

mudik naik motor
Mudik terakhir naik motor, membawa parcel di obrok



Pernah sih kami hampir mengalami kecelakaan saat pulang mudik, maklum arus balik juga nggak kalah padat dari arus mudik. Jadi ceritanya saat lewat di sebuah perempatan, ban motor kami selip saat melaju di atas jalan berdebu. Salah saya sih karena lupa tidak mengurangi kecepatan. Semua orang spontan berteriak melihat motor kami oleng dan hampir jatuh, apalagi kami berboncengan empat. Alhamdulillah Allah masih melindungi kami sehingga kami tetap bisa pulang ke Malang dengan selamat, tanpa kurang suatu apapun.

Kalau dipikir-pikir, mungkin Allah mengobati kerinduan dan patah hati saya dengan rumah Kakek Nenek di Bululawang dengan menjodohkan saya dengan wanita yang berasal dari luar kota. Kebetulan di rumah mertua juga ada pohon rambutan, mangga sehingga saya bisa mengulang lagi kenangan indah saat berlebaran di Bululawang.

Tak Bisa Mudik Karena Pandemi

Di penghujung tahun 2019 kami diberikan rezeki untuk membeli Motuba alias Mobil Tua Bangga. Keputusan kami membeli mobil agar memudahkan kami saat pulang kampung ke Blitar. Istri sudah sering mengeluh kecapekan jika harus menempuh perjalanan Malang-Blitar dengan berboncengan 4. Trus juga saya nggak tega kalau anak-anak kepanasan dan kehujanan, apalagi kalau pulang malam hari gitu. Faktor kenyamanan dan keselamatan menjadi alasan kami membeli mobil.

Sayangnya di awal tahun 2020 pandemi melanda Indonesia padahal Ibu Mertua dan adik ipar memutuskan untuk mengakhir kontrak kerja di Hongkong tahun 2020. Kami bahkan sempat kuatir Ibu Mertua tidak bisa pulang dari Hongkong. Alhamdulillah Ibu mertua sehat sehingga bisa lolos pulang ke Indonesia.

Pembatasan Wilayah Malang-Blitar

Berlebaran di Perbatasan Malang-Blitar

Ironisnya saat lebaran 2020 kami tidak bisa pulang mudik ke Blitar padahal itu adalah moment lebaran pertama kami dengan formasi lengkap, ada Ibu Mertua dan adik ipar beserta suaminya. Hal ini terulang lagi di tahun 2021, malahan sekarang Ibu mertua terpaksa harus berlebaran sendiri di desa karena adik ipar sedang kamil besar dan berencana melahirkan di Surabaya, kota tempat suaminya tinggal.  Akhirnya demi mengobati rindu dan berlebaran dengan Ibu Mertua, kami pun janjian ketemuan di perbatasan Malang-Blitar yaitu di depan Bendungan Karangkates, Malang. Meskipun hanya bisa bertemu hanya sejenak namun kami tetap bahagia sudah bisa bertemu dengan Ibu Mertua.

Itulah kenangan dan cerita mudik yang saya alami saat masih kecil dan sudah berkeluarga. Saya sangat bersyukur karena Allah memberikan saya begitu banyak kenangan indah saat lebaran dan mudik ke desa. Semoga hal ini juga menjadi kenangan yang indah bagi anak-anak kami, aamiin YRA.

 "Tulisan ini dibuat dalam rangka mengikuti tema ‘Mudik dalam Tulisan’ yang diselenggarakan Warung Blogger”

 

14 comments

  1. Semoga kita semua bisa berkumpul pada waktu dan momen yang indah ya Keluarga Biru. Mama Ivone tetep cantik meski make jas hujan ya. Anak anak menggemaskan selalu. Sehat sekeluarga ya Pap.

    ReplyDelete
  2. Ya Allah, Mas.. aku aja ikut patah hati baca ceritanya soal rumah kakek nenek itu, hiks. Nenek melakukan itu semua demi agar bisa bernostalgia dengan rumah yang penuh kenangan, ya.. masya Allah.
    Trus aku ikut sedih karena Keluarga Biru berjumpa dengan ibu di perbatasan Malang-Blitar. Hiks. Tapi sudah terobati kangennya ya habis pulkam kemarin. Alhamdulillah.
    Semoga semuanya sehat-sehat selalu, dan tahun depan bisa mudik dengan lebih bahagia :)

    ReplyDelete
  3. Cerita2 ala KeluargaBiru selalu bikin mixed feelings alias nano-nano.
    kadang ikut senaaangggg, bahagia, eh... trus nyusruk jadi sediiih bin mellow.

    Selamat IdulFitri yaaa
    semoga ALLAH terima semua amal ibadah kita.
    Aamiinnn!

    ReplyDelete
  4. Ikut terasa sedih ketika mengetahui ternyata rumah Pakde Khalil dulunya rumah nenek kakek dan anak-anaknya. Namun jadi seperti menambah saudara baru ya, menyambung silaturahmi setiap momen idulfitri.

    Berkemudi menggunakan motor ini harus bertul fokus dan memperhatiakn betul kondisi jalanan ya. Sampai sekarang, Bapak Ibu saya ke mana-mana juga memakai motor berboncengan. Dulu pernah berempat juga dengan adik, lama-lama berdua karena kami tumbuh besar. Nggak muat ey hehehe.

    Semoga tahun depan Keluarga Biru dapat berkumpul dengan formasi lengkap ya, beserta Ibu Mertua, adik ipar, dan nanti si dedek bayinya adik ipar. Hihihi. Semoga bener-bener deh, tahun depan pandemi udah redaan dan kita bisa sedikit lebih bebas merayakan hari raya dengan keluarga.

    ReplyDelete
  5. Bertemu sebentar dan bukan di rumah... pastinya ada kecewanya juga ya. Btw, lebaran di rumah Pak Khalil mungkin akan selalu jadi kenangan indah ya. Memang patut disayangkan. Namun begitulah nasip kadang tidaklah ramah.

    ReplyDelete
  6. Ikut sedih bacanya pas di bagian tau kenyataan sebenarnya soal rumah kakek nenek, tapi di sisi lain seneng pas baca kenangannya. Jadi kenangan berkesan dan gak terlupakan. Apalagi Allah mengganti kesedihan itu dengan jodoh dari di luar kota, jadi tetap bisa mudik saat lebaran sekaligus pengobat rindu kenangan lebaran di bululawang.

    ReplyDelete
  7. wuah ternyata bukan rumah kerabat ya yang didatangin, melainkan rumah kenangan

    oh berarti kemarin jadinya lebaran dan piknik di karangkates ya
    solutif juga ya
    ntar nyambanginya setelah usai penyekatan ajaaa

    ReplyDelete
  8. Aku selalu salut yang mudik sambil motoran bawa barang banyak plus anak istri. Kebayang lho harus jaga keseimbangan dan berat juga bawa motor dengan banyak barang bawaan. Alhamdulillah ya sekarang sudah ada mobil. Anak2 jadi lebih nyaman tentunya

    ReplyDelete
  9. Ah.. iya juga. Kadang ada beberapa saudara yang meninggal akhirnya kita sudah jarang berkkunjung ke sanak-keluarga yang ditinggalkan tersebut ya.

    Btw, waktu itu aku pernah berencana mau ke Jogya dari Malang, naik motor haha. Tapi dilarang keras sama emak di yogya. Krn bawa anak, gak boleh mudik dengan cara motoran.

    ReplyDelete
  10. Alur ceritanya bikin aku terbawa suasana seolah sedang ada disana juga. Pandemi membuat kita tak kehilangan ide untuk tetap bertemu keluarga ya bagaimanapun dan dimana pun, namanya lebaran, usahakan banget ketemu

    ReplyDelete
  11. Sedih sekali ya tidak bisa mudik ke kampung halaman.
    ya mungkin begitulah yang dirasakan orang-orang yang tidak bisa mudik ke kampung halaman di waktu hari raya.

    Tapi ya alhamdulillah ya kak, masih bisa bertemu dengan keluarga meskipun itu mesti membuat janji dulu untuk bertemmu di perbatasan blitar malang :')

    ReplyDelete
  12. Aku tuh suka lupa nitip cokelat kalau Papa Biru mau ke Blitar, haha
    Pengen dioleh-olehin gitu deh maksudnya
    Sayangnya ketemu Keluarga Biru di Surabaya aja susahnya

    ReplyDelete
  13. Kayak aku belasan tahun lalu. Aku duduk di atas tas pakaian di depan Bapak ygengemudikan motor. Tapi kami nggak pakai obrok. Bapak memasang Bambu atau besi biar joknya Makin panjang. Sekaligus buat nahan Ibu biar nggak kejengkang. Wkwkwkkw

    ReplyDelete
  14. Sedih memang ya, kalau ada kerabat yang meninggal bikin kita gak bisa silaturahmi ke sana lagi. Seperti kedua simbah saya yang sudah meninggal jadi kami gak bisa mudik lagi ke kampung halaman orang tua.

    ReplyDelete

Popular Posts