![]() |
Sumber : Good News From Indonesia |
Di Banyuwangi, ada kisah yang
membuktikan bahwa sebuah gagasan kecil dapat menumbuhkan harapan besar. Namanya
Muhammad Farid — pemuda inspiratif yang menggerakkan program “Sayur
untuk Sekolah”, menghubungkan gizi, pendidikan, dan semangat gotong royong.
Berkat dedikasi dan keberaniannya, Farid akhirnya meraih penghargaan SATU
Indonesia Awards, sebagai salah satu figur muda yang memberi dampak nyata
bagi bangsanya.
Dari Usia Belia hingga Menjadi
Penggerak Sosial
Saat masih remaja, Farid sendiri
mengalami tantangan ekonomi dalam keluarganya. Di media-media lokal disebutkan
bahwa ia membayar SPP sekolah menggunakan hasil sayur — sebuah ide yang tak
lazim tapi sangat relevan di komunitas pertanian.
Ia tumbuh dalam lingkungan desa, di mana banyak keluarga bertani. Dari situ,
Farid melihat dua problem utama: anak-anak putus sekolah karena kesulitan bayar
uang sekolah, dan petani yang hasil tanamannya tidak terserap dengan baik. Ia
pun berpikir: kenapa tidak “memutar” nilai hasil pertanian untuk mendukung
pendidikan?
Dengan modal tekad dan
kepercayaan, ia mulai membangun sebuah gerakan sosial mikro: orang tua bisa
membayar biaya sekolah anak mereka dengan sayur atau hasil tani lainnya. Dari
kebun lokal, hasil sayur dikumpulkan dan digunakan sebagai pendukung kegiatan
sekolah. Begitulah cikal bakal “Sayur untuk Sekolah.”
Menyatukan Gizi, Pendidikan,
dan Gotong Royong
![]() |
Sumber : Dok. Pribadi |
Apa yang membuat program ini
menarik bukan sekadar bentuk bantuan ekonomi, tetapi bagaimana Farid
menghubungkan gizi dan pendidikan dalam satu alur. Sekolah alam yang dirancang
pun menanamkan kegiatan berkebun, panen, dan pengolahan sayur sebagai bagian dari
kurikulum nonformal. Anak-anak tidak hanya belajar membaca dan berhitung, tapi
juga belajar menanam, merawat, dan memetik hasil buminya sendiri.
Dengan cara ini, Farid
mengedukasi generasi muda mengenai pentingnya gizi seimbang — karena anak yang
cukup asupan sayur dan vitamin akan lebih sehat dan lebih siap belajar. Sekolah
pun menjadi komunitas kecil yang mandiri: kegiatan gotong royong tanam-menyulam
hingga panen disatukan dalam aktivitas sehari-hari.
Lebih dari itu, Farid melibatkan
masyarakat desa secara aktif. Petani, orang tua siswa, hingga relawan ikut
terlibat menanam, merawat, dan memanen bersama. Nilai kebersamaan itu tumbuh,
bukan sebagai aktivitas insidental, tapi sebagai bagian dari identitas desa.
Tantangan dan Awal Kebangkitan
Tentu, jalan Farid tidak mudah.
Di awal program, ada ragu dari sebagian orang: bagaimana jika hasil sayur tidak
cukup? Bagaimana dengan administrasi keuangan sekolah? Bagaimana mengatur
distribusi hasil panen?
Namun Farid dan timnya tak
berhenti pada idealisme semata. Mereka membuat sistem yang jelas: takaran nilai
hasil sayur yang “setara” dengan uang sekolah, pengelolaan hasil dengan
transparansi, serta skema pengelolaan kelebihan sayur yang dijual kembali untuk
dana operasional sekolah. Dengan pendekatan yang matang, keraguan itu kemudian
berubah menjadi dukungan.
Salah satu hal yang membuatnya
semakin dikenal adalah ketika media lokal dan nasional memberitakan bahwa
alumni sekolah tersebut tersebar hingga Kairo karena terinspirasi ide ini. Kabar
itu kemudian memacu semangat banyak pihak untuk melihat bahwa “gerakan dari
desa” punya potensi membumi lebih luas daripada yang dibayangkan.
Penghargaan dan Relevansi
Astra
Atas dedikasi dan dampaknya yang
nyata, Farid mendapatkan apresiasi melalui penghargaan SATU Indonesia Awards.
Penghargaan semacam ini tidak sekadar memberi simbol, tetapi juga platform
untuk memperluas jaringan, memperkuat proyek, dan mengundang kolaborasi lebih
luas.
Bagi Astra yang banyak terlibat
dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat, kisah Farid sangat relevan: ia
menunjukkan bahwa pembangunan tidak selalu harus melalui proyek besar dan
mahal, tetapi bisa melalui langkah-langkah kecil yang berkelanjutan dan melibatkan
komunitas.
Kutipan Inspiratif dari
Muhammad Farid
“Anak desa itu punya hak
bermimpi. Bila kita bisa memberi kesempatan melalui sawah dan tanaman yang kita
miliki, maka pendidikan tidak lagi menjadi beban, tapi bagian dari upaya
bersama membangun masa depan.”
Kata-kata itu mencerminkan
filosofi hidup Farid: bahwa pendidikan sejati lahir bukan dari pemberian
sekadar materi, tetapi dari pemberdayaan dan kebersamaan.
Pesan untuk Generasi Muda dan
Komunitas Astra
![]() |
Sumber : Kompas.com |
Dari desa Banyuwangi, Farid
mengajarkan sebuah pelajaran besar: perubahan sosial bisa lahir dari inovasi
sederhana dan keberanian memberi arti baru pada apa yang sudah ada. Bagi
generasi muda, ini panggilan untuk berpikir kreatif dan bertindak lokal. Bagi
Astra dan pihak swasta lainnya, ini panggilan kolaborasi: mendukung
keberlanjutan dan skala proyek-proyek berdampak sosial.
Dengan dukungan yang tepat,
program seperti “Sayur untuk Sekolah” bisa direplikasi di banyak daerah.
Anak-anak di pelosok pun bisa terus belajar dan tumbuh, tanpa harus tergenggam
beban ekonomi.
Melalui langkah kecil dari
Banyuwangi, Muhammad Farid membuktikan bahwa seikat sayur bisa menanam harapan
yang jauh lebih besar. Ia mengingatkan kita: pembangunan bangsa sejati tidak
selalu di kota besar, tetapi sering kali lahir dari desa-desa yang diberdayakan
dengan cinta dan kerja sama.
#APA2025-ODOP/PLM/BLOGSPEDIA
No comments