Perjuangan Memiliki Rumah Impian 2






Setelah merelakan kesempatan untuk memiliki rumah baru di Gribig hilang, Keluarga Biru rehat sejenak dari agenda hunting info perumahan. Meski pembatalan pembelian unit rumah di Gribig itu atas inisiatif kami sendiri namun terselip rasa sayang atau eman di hati kami. Kami mencoba mengalihkan fokus perhatian kami pada hal lain.


Rumah Bercat Hijau

Sekitar bulan November 2013 Mama Ivon melihat informasi rumah salah satu tetangga kami yang dijual. Letak rumah tersebut berada di ujung gang. Rumah bercat hijau itu sudah lama tidak ditempati. Terakhir yang menghuni rumah tersebut adalah seorang penjual dawet keliling. Mama Ivon tertarik dengan rumah tersebut dengan beberapa pertimbangan.
Pertimbangan pertama letaknya yang tidak jauh dari rumah keluarga besar saya, hal ini sesuai dengan keinginan saya jika membeli rumah kalau bisa lokasinya tidak jauh dari rumah yang sekarang kami tempati. Saya ingin tetap bisa berada dekat dengan Ibu dan juga agar Aiman tidak terputus komunikasinya dengan para sepupunya. Pertimbangan kedua lokasinya jelas berada di tengah kota dan jalannya lebar sehingga rumah itu masuk semua di kriteria kami.
Saya lalu menghubungi nama dan nomer yang tertera di informasi penjualan rumah tersebut. Nama pemiliknya adalah Bu Tutik. Bu Tutik menjawab sms saya dengan cepat, beliau mengatakan kalau untuk urusan penjualan rumah tersebut sudah diserahkan kepada Mbak Lastri, tetangga kami. Berbekal informasi tersebut kami kemudian datang ke rumah Mbak Lastri.

Rumah yang Sempurna

Setelah mengutarakan minat kami pada Mbak Lastri, kami lalu diajak untuk melihat kondisi rumah Bu Tutik. Sebelumnya kami sudah punya perkiraan bagaimana kondisi rumah Bu Tutik yang sudah lama tidak ditempati tersebut. Dan ternyata kondisi yang sebenarnya sedikit lebih parah dari bayangan kami. Asbes rumah tersebut sudah hampir jebol dan berjamur semua karena terkena bocoran air hujan. Air hujan bisa masuk karena gentingnya juga sudah banyak yang pecah, terutama di ruang tamu. Di dua kamar tamu kondisinya juga tidak lebih baik, berantakan! Ada beberapa pakaian bekas dan tumpukan kertas peninggalan penjual dawet keliling. Yang agak mendingan kondisi dapurnya, karena sudah dikeramik maka meski kotor namun tidak separah ruangan lainnya. Saat kami keluar kami melihat ada gerobak si penjual dawet di teras. Menurut cerita Mbak Lastri penjual dawet tersebut menunggak uang sewa dan listrik 3 bulan dan meninggalkan rumah tanpa pamitan sama sekali. Sungguh, keadaan rumah itu benar-benar sempurna untuk ditempati…oleh kecoak, tikus dan sejenisnya.
Kami lalu mencoba untuk menimbang-nimbang lagi niat kami untuk membeli rumah Bu Tutik. Dengan kondisinya yang mengenaskan itu maka kami harus melakukan renovasi jika ingin menempatinya. Menurut perkiraan paman kami yang seorang pemborong, biaya renovasi rumah kami itu lumayan besar. Lalu juga status kepemilikan tanah rumah tersebut, ternyata tanah tempat rumah berdiri itu adalah milik pemerintah. Memang di daerah kami banyak sekali rumah yang berdiri di atas lahan milik pemerintah alias tanah sewa. Setiap tahun para penduduk membayar biaya sewa kepada Pemkot Malang. Paman kami menganjurkan untuk mencari rumah di daerah lain saja yang memiliki hak kepemilikan atas tanahnya. Pun, beberapa teman juga menyarankan hal yang sama. Malahan ada yang menakut-nakuti kalau nanti ada resiko penggusuran juga.
Tapi untung kami mendapatkan informasi yang cukup membuat kami berlega hati bahwa pemukiman di tempat kami sangat kecil resikonya untuk digusur. Jumlah lahan yang disewakan Pemkot Malang untuk pemukiman penduduk sangat luas, membentang dari daerah Mergan hingga ke Sukun, bahkan deretan rumah mewah yang berada di Jalan Raya Langsep itu statusnya juga berdiri di atas tanah milik Pemkot Malang. Pasti dibutuhkan dana yang sangat besar sebagai kompensasi atas rumah-rumah tersebut jika memang Pemkot Malang ingin melakukan penggusuran. Dan kami rasa hal itu tidak akan terjadi, wong wacana untuk melakukan pelebaran jalan di sepanjang Jalan Mergan Lori hingga Sukun saja sampai saat ini tidak ada tanda-tanda akan direalisasikan. Penyebab pasti Pemkot Malang berpikir ulang untuk menyediakan dana pengganti untuk rumah-rumah mewah yang berdiri di sepanjang jalan tersebut. Lalu ada kabar juga bahwa Pemkot membuka kesempatan bagi para warga yang ingin membeli tanah tersebut. Okelah, Bismillah dengan segala kelebihan dan kekurangannya tersebut Keluarga Biru memantapkan hati untuk membeli rumah tersebut.

Negosiasi Harga

Kami belum pernah membeli rumah sehingga untuk melakukan negosiasi harga masih buta sama sekali. Tidak mungkin kami menawar rumah seperti menawar barang di pasar. Untunglah kerabat dan teman memberikan masukan bagaimana menawar rumah milik Bu Tutik itu.
Bu Tutik menyambut baik kedatangan kami sore itu di rumahnya di daerah belakang UIN Malang. Dari mulut beliau lalu terurailah cerita tentang rumah tersebut. Rumah di Mergan itu sebenarnya milik almarhum mertuanya. Lalu oleh sang mertua diwariskan kepada anaknya, yaitu suami Bu Tutik. Tak lama setelah rumah itu direnovasi, suami Bu Tutik meninggal dunia sehingga rumah tersebut akhirnya dikontrakan. Saya sendiri dulu hanya mengenal mendiang mertua Bu Tutik sehingga wajar saat pertama kali datang ke rumahnya kami tidak saling mengenal.
Proses negosiasi harga sedikit berjalan alot saat Bu Tutik bersikukuh dengan harga yang ditawarkan, sedangkan kami menawarnya dan mengemukakan kondisi rumah yang sudah tidak layak untuk dihuni sehingga perlu direnovasi. Tapi Bu Tutik juga bilang kalau selain kami, sudah ada dua pembeli yang menghubunginya. Syukurlah setelah ngobrol lebih lama dan intens akhirnya Bu Tutik mau menurunkan harga. Kami mencoba menawar sesuai dengan harga yang kami inginkan. Namun kali ini Bu Tutik bergeming. Saya sempat berpandangan dengan Mama Ivon dan dia mengangguk, itu artinya dia setuju. Dan kesepakatan harga pun tercapai.

Untuk membiayai pembelian rumah dan renovasi kami memutuskan untuk mengajukan pinjaman ke bank. Keputusan ini kami ambil setelah menimbang masak-masak meski kami menabung dengan rajin akan sulit sekali untuk mengumpulkan uang untuk membeli rumah secara kontan. Ditambah lagi kami harus berlomba dengan pembeli lain yang ternyata tidak kenal menyerah. Awalnya kami mengira itu hanya trik Bu Tutik untuk mengesankan bahwa rumahnya punya nilai jual tinggi. Namun saya kemudian melihat dengan mata kepala sendiri saat ada orang yang datang bertamu ke rumah Mbak Lastri dan menanyakan apakah rumah Bu Tutik sudah laku atau belum.
Setelah proses pembayaran selesai, kami lalu melakukan proses pengurusan akta jual beli rumah di notaris. Kebetulan saya mempunyai kenalan seorang notaris yang dulu mengurus akta pendirian penerbitan kami. Alhamdulilah biaya pengurusannnya juga tidak mahal dan akhirnya secara resmi Rumah Hijau tersebut menjadi milik Keluarga Biru.



7 comments

  1. Saluuut sama keteguhannya Wan. Semoga dimudahkanNya ya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bersiteguh karena memang butuh Yan :D
      Aamiin, sekarang kami lagi menjalani step perjuangan selanjutnya yaitu renovasi, nantikan ceritanya nanti Yan.

      Delete
  2. Boleh tau biaya notarisnya berapa, Dik?

    Di sini mahal sekali pasarannya, jadi penasaran di Malang berapa ;)

    www.honeymoonbackpacker.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. Biaya notarisnya ada dua Mbak, akta jual beli dan pengubahan nama penyewa tanah di pemkot. Untuk jual beli 300K ditanggung berdua dengan penjual sedangkan pengubahan nama penyewa 700K.

      Delete
  3. Alhamdulillah... Itu memang dambaan bagi keluarga, terutama seperti saya... Salut deh

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah
    saya ikut senang membacanya

    ReplyDelete

Popular Posts