Malam Minggu Keluarga Biru di Wlingi



Hidup di desa jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan hidup di desa dari segi lingkungan jauh lebih sehat karena masih minim sekali polusi, lalu suasana desa yang hening sangat mendukung sekali untuk beristirahat. Sedangkan kekurangan hidup desa karena lokasinya yang jauh dari kota sehingga jika ingin membeli barang yang tidak dijual di warung-warung desa maka harus pergi agak jauh ke kota.

Selama ini jika sedang pulang kampung ke Desa Popoh, Blitar untuk membeli kebutuhan sehari-hari kami biasanya pergi ke Pasar Wlingi yang terletak di Kota Wlingi. Jarak dari Desa Popoh ke Pasar Wlingi jika ditempuh dengan sepeda motor sekitar 15 menitan. Saat siang hari maka di sepanjang perjalanan kita bisa menikmati pemandangan berupa hamparan sawah yang luas dan hutan yang sedikit lebat, angin pun berhembus dengan sejuknya. Sangat khas suasana pedesaan.
Namun suasana yang menyenangkan itu akan berubah sedikit ‘horor’ jika di malam hari. Horor karena di sepanjang jalan tersebut sama sekali tidak ada penerangan. Cahaya yang datang hanya berasal dari lampu-lampu kendaraan. Makanya harus sangat berhati-hati jika melintas di malam hari karena jalan yang dilalui adalah jalan provinsi dimana ada bus dan truk yang berkecepatan penuh yang kadang melintas. Itulah sebabnya kenapa Papa Ihwan agak malas jika harus pergi ke Wlingi di malam hari, apalagi sekarang bulan Januari sedang musim penghujan.
Nah, pada malam minggu kemarin Keluarga Biru pergi ke Wlingi untuk membeli makan malam sekaligus refreshing. Maklum kami berangkat dari Malang pukul dua siang dan tiba di Desa Popoh jam empat sore, Mama Ivon tidak sempat lagi memasak sehingga diputuskan untuk membeli makan di luar saja. Kami sudah punya langganan tempat makan malam yaitu di Warung Pak Pak Munir yang letaknya berada di sebelah utara Pasar Wlingi.


Menu favorit kami di Warung Pak Munir ini adalah menu Lalapan Burung Puyuh. Maklum selama ini kami belum pernah menemukan Lalapan Burung Puyuh di Malang makanya saat pertama kali melihat menu tersebut kami langsung tertarik mencoba. Rasa daging burung puyuh memang khas, gurih seperti daging ayam dan warnanya seperti daging bebek. Daging burung puyuh banyak kelebihannya antara lain bermanfaat untuk proses pertumbuhan anak, bagi orang dewasa bisa meningkatkan stamina dan daya ingat. Satu lagi yang istimewa, daging burung puyuh ini mempunyai kandungan kolesterol yang rendah sehingga aman bagi penderita jantung atau yang punya kolesterol tinggi.


Kelebihan di Warung Pak Munir adalah cara pengolahannya sehingga daging Burung Puyuhnya tidak bau lengur. Trus juga sambalnya juga lezat, khas sambala bajak. Lalu yang paling penting neh, harganya bersahabat dengan dompet. Itulah sebabnya kenapa kami tidak pernah bosan makan di Warung Pak Munir ini. Kemarin malam kami memesan 2 porsi Lalapan Burung Puyuh untuk Papa Ihwan dan Mama Ivon, 1 porsi Lalapan Ayam buat Aiman, 3 gelas es jeruk. Lalu untuk dibawa pulang kami pesan 1 porsi ayam bakar dan tiga tusuk sate ampela hati. Coba tebak habis berapa? Hanya Rp.64.000 saja. Murah banget khan??


Selesai makan malam kami pergi ke depan Pasar Wlingi dimana ada wahana odong-odong favorit Aiman. Tidak di Malang ataupun Wlingin, neh anak paling suka naik odong-odong. Dulu awal-awalnya sempat takut dan tidak mau naik tapi setelah agak ‘dipaksa’ akhirnya mau dan malah ketagihan. Setiap kali melintas di depan Pasar Wlingi dia akan selalu berseru: Itu…itu…!! sambil menunjuk-nunjuk ke arah odong-odong.
Jika malam hari, area di depan Pasar Wlingi ini memang menjadi semacam area hiburan bagi para warga, terutama anak-anak. Selain odong-odong, ada juga wahana mandi bola serta memancing ikan. 





Kebetulan malam itu Aiman kebagian odong-odong bentuk vespa, senang sekali dia. Mungkin selama ini bosan naik odong-odong bentuk mobil sehingga saat naik bentuk vespa dia sampai berdiri seperti orang-orang yang lagi freestyle.



Setelah Aiman puas naik odong-odong, kami pun segera pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam saat itu. Kalau di kota, jam delapan malam masih tergolong ‘sore’ tapi lain lagi di desa. Jam delapan malam di desa itu sudah seperti jam sepuluh malam. Kalau di jalan provinsi memang masih ramai tapi begitu masuk jalan di dalam desa sudah sepi dan lengang. Apalagi sorenya sempat hujan sedikit, kami khawatir nanti akan hujan lagi sehingga kami memilih untuk mengakhiri malam minggu kami di Wlingi lebih cepat.


No comments

Popular Posts