Pengalaman Pergi ke Psikolog

 

pengalaman pergi ke psikolog

Pengalaman Pergi ke Psikolog

Hallo Gengs Biru, apa yang kalian lihat dari foto ini? Senyum bahagia dari seorang ayah yang menemani anak-anaknya main di Pantai Balekambang. Saya kasih tahu sebuah rahasia, sebelum liburan ke pantai pria ini baru saja menemukan sebuah fakta menyakitkan yang menghancurkan hatinya. Namun dia memilih untuk tetap melanjutkan rencana liburan keluarga karena tidak ingin anak-anaknya sedih. Maklum sudah lama mereka tidak ke pantai dan anak-anak sangat bersemangat ketika diberitahu rencana liburan ke pantai.

Fakta menyakitkan ini bermula pada tanggal 12 Oktober 2021, bulan yang merupakan hari kelahirannya. Namun sejak fakta itu terkuak bulan itu menjadi bulan yang menyakitkan baginya, setelah tahun sebelumnya sang Ibu wafat di tanggal 2 Oktober 2020. Dia sekarang hanya bisa berdoa dan berharap semoga di bulan Oktober 2022 akan ada kebahagiaan yang bisa menghapus semua lukanya.

Saya sudah kenyang dengan bully-an sejak masih kecil, mulai dari tubuh saya yang kurus hingga penyakit yang saya derita. Bully-an ini saya alami hingga saya bersekolah di tingkat SLTA bahkan ketika saya sudah bekerja saya masih menerima bully dari rekan kerja baik yang sebaya maupun yang senior. Saking nggak kuatnya, saya dulu bahkan pernah punya keinginan untuk resign. Untung ada sahabat yang memberikan semangat sehingga saya tetap bertahan hingga sekarang.

Alasan Pergi ke Psikolog

Saya tidak bisa menceritakan fakta menyakitkan apa yang saya ketahui namun yang jelas sangat menguncang hati dan jiwa saya. Bahkan saya masih bisa merasakan bagaimana dada ini bergemuruh dan tangan gemetar menahan rasa sakit dan amarah. Seseorang telah menyalahgunakan kepercayaan saya, itu saja benang merahnya.

Saat remaja saya masih bisa bertahan dari bully-an teman di sekolah. Meskipun kadang sampai merasa sendiri namun saya tetap memilih survive, semata-mata karena saya tidak ingin mengecewakan keluarga yang sudah menyekolahkan saya. Kakak pertama (cowok) saya putus sekolah saat SMA gara-gara dibully pergi ke sekolah naik sepeda pancal. Saya tidak ingin membuat keluarga saya kecewa untuk kedua kalinya.

Tingkat depresi saya dulu hanya sampai tahap malas masuk sekolah, bukan sampai yang depresi dan ingin bunuh diri. Namun sayangnya masalah kali ini membuat saya sangat terluka, merasa diri tidak berarti dan bertanya-tanya: “Apa salah dan kekurangan saya hingga sampai diperlakukan seperti ini?”

Begitu hancurnya saya, sampai-sampai saya memiliki keinginan untuk bunuh diri. Saya bahkan sampai harus pergi ke toilet kantor untuk menangis karena nggak mau orang se-ruangan heboh melihat seorang pria berumur 40 tahun menangis-nangis di meja kerjanya. Adalah Priyo, sahabat yang menjadi tempat saya bercerita. Dia yang dengan penuh kepedulian, kesabaran dan kedewasaannya dalam berpikir membuat saya tetap bisa berpikir waras dan menggunakan logika.

Saat saya menangis di toilet dan bilang ingin bunuh diri, dia mengatakan pada saya bahwa tindakan saya itu bodoh dan dia tidak akan bersimpati atas apa yang terjadi pada saya. Bunuh diri bukan penyelesaian masalah, itu sama saja saya menyepelekan kekuasaan Allah yang Maha Tak Terbatas untuk menyelesaikan masalahmu. Memang benar sih omongannya itu sehingga akhirnya saya urungkan niat tersebut.

Lalu apakah masalah itu sudah selesai? Sayangnya belum. Saya sudah memaafkan dan memberi kesempatan untuk memperbaiki namun lagi-lagi saya kena prank sampai 5 kali. Hati ini terluka lagi dan lagi hingga saya sampai di tahap tidak bisa menangis lagi. Entahlah, mungkin saya yang terlalu naif dan bodoh.

Memutuskan Pergi ke Psikolog

Meskipun saya sudah mendapatkan banyak masukan, support dan insight dari sahabat namun saya merasa harus konsultasi dengan psikolog. Saya ingin mendapatkan penanganan dan advice dari orang yang memiliki ilmu tentang psikologi. Saya pun mulai mencari informasi psikolog terdekat, nggak ketinggalan juga psikolog online di beberapa aplikasi. Namun setelah saya timbang-timbang, saya lebih suka konsultasi secara langsung meskipun dari segi biaya lebih mahal.

Saya sebenarnya sudah mencoba self healing dengan melakukan aktivitas baru yaitu dengan mulai rajin berolahraga namun itu efeknya hanya sementara.

Baca: Healing dan Self Reward dengan Olahraga

Setelah melalui proses hunting yang cukup menyita waktu dan tenaga, akhirnya saya memutuskan untuk pergi konsultasi ke psikolog di sebuah rumah sakit swasta di Malang. Kebetulan saya mendapatkan beberapa testimoni di Twitter tentang kredibilitas dan layanan psikolog di rumah sakit tersebut. Terus harga konsultasinya juga masih terjangkau. Wajarlah, biaya konsultasi ke psikolog memang tidak murah. Di BJPS hanya konsultasi ke psikiater saja yang ditanggung.

Saya lalu melakukan pendaftaran online untuk menentukan kapan jadwal konsultasinya juga. Saya tidak punya referensi nama psikolog yang oke, waktu itu saya memilih berdasarkan feeling dan pertimbangan jadwalnya yang padat. Kalau jadwalnya padat berarti dia psikolog yang handal. Harga konsultasinya sangat terjangkau yaitu Rp.110.000 untuk 1 jam.


pengalaman pergi ke psikolog

Untungnya kantor sedang menerapkan WFH karena angka positif Covid yang meningkat karena varian Omicron, sehingga saya tidak harus ijin tidak masuk kerja. Saya bakalan bingung mau tulis apa di surat ijin nanti hehehe.

Tahapan Konsultasi di Psikolog

Saya dulu sempat punya cita-cita untuk jadi psikolog karena saya suka ilmu tentang kepribadian dan seringkali jadi tempat curhat teman-teman. Sempat juga dulu ingin ke psikolog saat masih remaja dan muda dikarenakan masalah pribadi tapi nggak terealisasi karena keterbatan informasi dan takut harganya mahal.

Siapa yang menyangka di usia setua ini akhirnya saya terpaksa pergi ke psikolog karena sudah tidak kuat dengan masalah yang saya hadapi.

Bagaimana sih rasanya saat mau pergi ke psikolog?

Meskipun ini atas keinginan saya sendiri namun tetap saja ada rasa ragu dan grogi. Ragu apakah keputusan saya ini benar karena nantinya saya harus bercerita semua tentang masalah saya, which is aib yang harus ditutupi. Grogi karena ini adalah pengalaman pertama, kuatirnya nanti malah dapat psikolog yang nggak tepat. Namanya juga bercerita pada orang asing, kalau kita tidak merasa nyaman bisa menghambat proses konsultasi dan penyembuhan.

“Apakah ini untuk pertama kalinya Bapak datang ke psikolog?”

“Iya Dok.”

“Apa yang membuat Anda memutuskan untuk pergi ke psikolog?”

“Saya merasa tidak sanggup mengatasi masalah saya sendiri. Saya sudah curhat sama sahabat namun saya masih merasa belum cukup. Saya ingin dapat masukan dari pihak yang ahli,”

“Lalu apa yang Bapak harapkan dari konsultasi ini?”

“Saya ingin mendapatkan insight dan masukan apa yang harus saya lakukan untuk menyelesaikan masalah ini.”

“Baik, silakan Bapak bercerita.”

Waktu konsultasi 60 menit, saya diberikan kesempatan untuk bercerita dulu. Nanti jika waktunya sudah mepet, Ibu Psikolog akan memberitahu saya. Tapiii ternyata waktu 60 menit tidak cukup bagi saya untuk bercerita dan mengeluarkan semua uneg-uneg. Ya wajar sih, mencerita kejadian selama 4 bulan hanya dalam waktu 1 jam tentu membutuhkan effort dan pemilihan kata yang tepat agar cerita tidak melebar kemana-mana.

“Saya akan kasihkan waktu tambahan sekitar 20 menit ya Pak. Sekarang saatnya saya memberikan tanggapan atas cerita Bapak.”

Ternyata apa yang diucapkan psikolog tidak cukup hanya dalam waktu 20 menit sampai molor hingga 50 menitan. Waktunya ditambah lagi sehingga semua sudah disampaikan oleh psikolog. Saya mencatat semua advice dan masukan yang diberikan psikolog. Adakalanya ada sesuatu yang tidak saya mengerti sehingga agar psikolog mengulang penjelasannya.

Setelah psikolog mengakhiri sesi konsultasi, beliau menyerahkan sebuah nota pada saya. Beliau bilang ini adalah biaya tambahan untuk sesi konsultasi. Oalah kirain tidak ditarik biaya lagi tapi ternyata saya salah mengira wekekeke. Saat tiba di kasir sempat agak kaget setelah melihat besaran tagihannya yaitu Rp.150.000. Lebih besar dari biaya sebelumnya. Ya udahlah saya tidak menyesali meskipun harus keluar uang tambahan, yang penting saya mendapatkan insight baru dan nasihat-nasihat yang saya lakukan di rumah.

Oke Gengs Biru, itulah pengalaman saya pergi ke psikolog di sebuah rumah sakit swasta di Malang. Kalau ditanya apakah saya sudah lega bercerita pada psikolog?

Jujur saja belum karena ada hal-hal vital yang saya ceritakan namun saya tidak mampu lagi menangis. Padahal saya ingin banget menangis untuk mengeluarkan beban di dada. Psikolog bilang, saya tidak bisa lagi menangis karena sudah kebal dengan luka yang saya alami. Beliau menunggu kedatangan saya selanjutnya untuk melihat perkembangan emosi saya.

Sedikit agak kecewa sih karena psikolog lebih concern bagaimana saya harus mengambil sikap dan memperlakukan orang yang sudah melukai saya. Padahal saya ingin psikolog lebih menggalih lebih dalam perasaan saya sehingga saya bisa menemukan bagaimana cara menyembuhkan luka batin ini. Mungkin memang harus datang lagi ke psikolog untuk dapatkan solusi yang benar-benar tepat.

Tapi ada satu kalimat yang psikolog ucapkan pada saya, bingung sih antara seneng atau mengsedih. Beliau bilang gini:

"Anda sudah sangat sabar, luar biasa. Namun sayangnya untuk saat ini Anda masih harus bersabar lagi jika ingin semua ini kembali normal."

Mohon doanya agar saya tetap kuat menghadapi salah satu babak ujian kehidupan ini. Saya berharap sharing pengalaman saya pergi ke psikolog bisa memberikan insight baru apa yang harus saya lakukan ke depannya. Saya juga nggak  mau kalau saya nanti mengambil keputusan dalam kondisi emosi yang tidak stabil.

Anda lihat foto terbaru saya ini?

pengalaman pergi ke psikolog

Saya sudah bisa tersenyum meskipun rasa sakit dan luka itu belum sembuh benar. Kalau ditanya apakah masalah sudah selesai? Sayangnya belum, harusnya saya segera datang lagi ke psikolog namun masih ada kendala satu dan lain hal. Oke Gengs Biru terimakasih sudah membaca pengalaman saya pertama kali pergi ke psikolog. Semoga bermanfaat ya, aamiin.

 

 

 

 

11 comments

  1. Halo Mas Ihwan, salut banget karena udah mau konseling ke psikolog, aku tahu gak banyak laki² mau melakukannya karena gak mau dianggap lemah. Ini keputusan yg besar & mas berani melakukannya, so itu keren sekalee.

    Cari konselor yg cocok emang kayak cari jodoh, susah banget. Kadang udah cocok, eh ada aja yg bikin kita jadi mundur lagi. Sungguh ujian.

    Gak semua orang bisa bercerita secara lisan & mas bisa melakukannya bahkan satu jam lebih itu luar biasa banget, harusnya konselor sangat mengapresiasi hal itu.

    Over all, hal yg paling berat di dunia ini kadang memang menerima kenyataan yg gak sesuai sm ekspektasi kita & harusnya konselor gak memaksa utk bisa langsung menerima. Prosesnya bisa panjang banget.

    Eniwei, aku juga sedang berjuang dgn masalah mental, beberapa aku tulis di blogku. Monggo main ke sana sapa tau bisa sharing².

    You did a good job mas. Aku gak akan bilang 'sabar yaa' atau 'semangat yaa' karena aku tau mas Ihwan udah sabar banget & datang ke psikolog adalah satu bentuk semangat hidup. So yeah, once again, you did a great job, you should proud of yourself, congratzz

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo juga Mbak Tika, saat saya googling tentang info psikolog, tulisan Mbak muncul di hasil pencarian. Setelah baca tulisan Mbak, saya makin mantabs untuk pergi ke psikolog.

      Untuk saat ini saya merasa lemah Mbak, emosi naik turun namun saya tetap harus survive karena ada keluarga yang jadi tanggung jawab saya. Salah satu pelepasan emosi saat rasa luka itu datang lagi adalah dengan menangis karena itu tidak melukai siapapun. Saya pernah melampiaskan emosi dengan memukul barang, memang sih emosi langsung tersalurkan terasa lega. Namun setelahnya saua jadi merasa kayak ketagihan, saya takut nanti jadi orang yang ringan tangan. Psikolog juga bilang itu sudah termasuk kategori self harm.

      Iya saya juga nggak nyangka kok bisa nyerocos selama 1 jam lebih padahal saya aslinya itu pendiam. Mungkin karena sudah terlalu banyak beban yang butuh untuk dikeluarkan.

      Eh iya bener Mbak, kadang aku merasa kayak gimana ya, ketika beberapa orang yang tahu masalahku hanya bilang agar aku sabar. Pengin deh ngomong ke mereka: "Heii aku selama ini sudah sangat sabar, kalau nggak sabar mungkin aku sudah melakukan hal-hal yang bisa melukai diriku dan orang lain."


      Delete
  2. Mental memang rentan banget, gak heran kalau banyak orang mudah mengalami gangguan kesehatan mental bahkan tak menyadarinya. Bahkan ada yang sampai parah, bagus kalau ke psikolog daripada berbahaya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya kalau memang sudah tidak kuat lebih baik konsultasi ke psikolog, karena memiliki ilmu yang bisa membantu kita mengatasi masalah yang kita hadapi.

      Delete
  3. Hai mas, apapun yang sedang dihadapi aku yakin pasti berat banget buat mas Ihwan. Mungkin lagi dapat giliran Alloh beri ujian buat naik kelas ya Mas..

    Luangkan waktu buat me time, sendirian...lakuin apa yang pengen dilakuin, klo perlu cari tempat buat teriak sekedar melepas apa yg berat di kepala. Iya, yabg kayak dipilem² itu hehehe
    Mungkin gak menyelesaikan masalah, tapi meringankan InsyaaAllah.. jangan lupa ada 2 malaikat kecil yang butuh pelukan Papa nya tiap hari. Ada yang perlu bimbingan dan kebersamaan. Semangat ya Mas, InsyaaAllah bisa dilalui. Banyak istighfar dan doa. Semoga Alloh Ridho dan mudahkan semua prosesnya. Bismillah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mohon doanya semoga kami bisa melalui ujian naik kelas ini dengan baik, aamiin.
      Untuk me time sudah pernah aku lakukan, terutama pas sedang marah atau down. Tapi nggak bisa teriak-teriak karena belum nemu tempat yang sepi hehehe.
      Iyaa, Duo Ai adalah penyemangat bagiku untuk tetap survive, ingin berumur panjang dan sehat agar bisa mengantarkan mereka pada kesuksesan, melihat mereka menikah dan memberi kami cucu, aamiin YRA.
      Terimakasih atas supportnya ya Dek Ririn.

      Delete
  4. Hai mas..i hope everything will be okay. Karena aku paham setiap orang perlu waktu berbeda-beda untuk berdamai dan menyelesaikan semua masalahnya.

    Dulu aku juga pernah merasakan sakit hati yang parah persis dengan kejadian mas Ihwan. Dan butuh bertahun-tahun untuk berdamai dengan itu semua.

    Semoga segera dapat solusi terbaik dan mendapat konselor yang cocok ya. Yakinlah bahwa setiap cobaan akan mendapat hikmah setelahnya yang tidak kita duga.

    Semangat ya

    ReplyDelete
  5. Semangat ya mas Ihwan
    Semoga apapun masalahnya bisa dilalui dengan baik
    Diberikan kemudahan

    ReplyDelete
  6. Aku gak pernah berani pergi ke psikolog karena bagiku psikolog itu orang lain. Orang asing. Selama ini aku cuman bisa scrolling sosmed mencari sumber inspirasi. Salut buat mas ihwan yang udah berani ngomong. Masalah mental itu rentan dan gak bisa sembarangan ngomong sama orang lain. Semoga selalu sehat jiwa raga ya mas ihwan

    ReplyDelete
  7. Berani pergi ke psikolog aja udah hebat kok.

    ReplyDelete
  8. Halo Mas, saya baru baca ini, padahal ditulis sejak 2022.

    Btw, saya pengen komen, karena pernah ke psikolog juga, yang offline dan bayar sekali sih.
    Lainnya offline tapi sesi gratisan, ada juga online dan gratisan wakakakak.

    Jujur, menurut saya, psikolog itu kek dokter gigi, mihil dan nggak bisa cuman sekali.
    Tapi jujur memang dibutuhkan sih, khususnya bagi yang memang benar-benar merasa udah nggak bisa berpikir normal lagi.

    Saya pernah kok sampai pengen nggak hidup lagi, udah minum obat malah berkali-kali.
    Dasar aja belum waktunya pulang.

    Terus ke psikolog, jujur saya nggak puas, nggak tahu apa karena psikolognya beda kelamin kali ya, saya pikir mereka tuh ngasih insight masih sedikit bias nggak sih.

    Psikolog yang saya datangin misalnya, blio bapak-bapak.
    Saya curhat masalah rumah tangga, ealaaahhh malah si Bapak fokus ngajarin saya gimana menghadapi suami, saya harus sabar, saya harus menghadapi suami dengan baik.

    I know itu benar, tapi keknya kurang pas aja diucapkan ke pasien yang lagi kalut, saya kan pengennya sama kayak Mas itu, digali perasaannya, diurai apa aja yang kusut di dalam pikiran dan hati saya.

    Tapi, entah karena sejam itu nggak cukup, atau mungkin bapaknya terburu-buru, jadinya jujur enggak puas.

    Mau datang lagi, tapi kok udah nggak sreg dengan cara dia menghadapi saya. Mungkin emang sama kek dokter, semua itu cocok-cocokan.

    Karena saya merasa, butuh banget healing, sementara terkendala di biaya, dan ternyata cari psikolog yang cocok itu susah.

    Akhirnya saya putuskan untuk menulis, menulis dan menulis.
    Nggak peduli di blog, di medsos, di manapun.
    Sampai punya blog khusus untuk ngomong kasar, wakakakakak.

    Dan Alhamdulillah, menulis itu healing terbaik buat saya, setelah jutaan kata tertuang, sedikit demi sedikit saya bisa mengurai pikiran yang kusut sendiri.
    Oh ya, nambah curhat ke Allah juga pastinya.

    Sekarang saya udah lumayan tenang, udah bisa menerima kekecewaan, menerima kehidupan.

    Masih sering kalut, tapi durasinya jauh lebih kecil.
    Udah nggak pernah lagi berpikir bodoh kayak dulu.

    Semoga Mas Ihwan juga mendapatkan ketenangan ya.
    Semoga dilembutkan hati Mas, bisa mengurai semua rasa yang terpendam tapi tak pernah bisa terurai dengan rapi.

    Semangat Mas :)

    ReplyDelete

Popular Posts